Senin, 07 Maret 2016

Ada Kisah Kita Diantara Kamu dan Aku, Rizzar Ara Part 5 : Sebuah Rencana dan Skenario Rasa

Rizzar Ara Part 5 : Sebuah Rencana dan Skenario Rasa

Ara sedang asyik menikmati makan siangnya di lokasi syuting ketika Viko, salah satu pemain yang seproject dengan Rizzar dan Ara, tiba-tiba duduk di sebelahnya.
"Sendirian aja, Ra?" tanya Viko dengan gaya menggoda. Ara tertawa, "Hmmm bukannya kita sedang berdua ya, Vik?" Viko pun ikut tertawa.
"Rizzar mana, bukannya biasanya kalian sering bercanda bareng kalo lagi satu project, makan siang aja kadang sama-sama," ujar Viko lagi.
Ara tersenyum, "Rizzar tadi lagi ke parkiran sepertinya. Ada ceweknya datang sepertinya. Perasaan si Rizzar bercandanya merata sama semua orang deh, Vik".
"Iya...., tapi biasanya kamu selalu ada disela-sela bercandaan Rizzar kan, apalagi kalian banyak satu scene," lanjut Viko dengan raut penasaran.
Ara tersenyum lebih lebar, tiba-tiba ia teringat bagaimana biasanya ia bercanda lepas bersama Rizzar sebelum mereka saling menjaga jarak satu sama lain. Rizzar yang usil dan humoris itu seringkali menggoda dan mengerjai Ara sehingga Ara pun ikutan membalas keusilan Rizzar itu dengan lebih bersemangat. Entah kapan dirinya dan Rizzar bisa bercanda lepas seperti itu lagi.
“Ra,... kamu sama Rizzar sedang menjaga jarak satu sama lain ya akhir-akhir ini?” Pertanyaan Viko membuyarkan flashback singkat Ara itu. Ara buru-buru tersenyum lebar tak memberi jawaban.
“Udah lama aku dan kalian tidak pernah satu project bareng, tapi aku merasa ada yang beda dengan kalian berdua sekarang deh. Kalian nggak serame dan selepas dulu lagi. Aku lebih suka melihat kalian seperti dulu lagi, lebih asyik, Ra,” lanjut Viko lagi.
“Ternyata kamu lumayan peka juga, Vik,” jawab Ara masih tersenyum riang, “Aku dan Rizzar memang lagi menjaga jarak, Rizzar yang menginginkannya karena sikon yang terjadi diantara kami akhir-akhir ini dan... aku berusaha memahaminya. Terlebih aku jomblo sementara Rizzar punya cewek, ... “.
Ara menarik nafasnya pelan dan dalam, entah kenapa masih ada bagian di dalam hatinya yang mempertanyakan memangnya apa salahnya menjadi jomblo sampai Rizzar pun menjaga jarak karena statusnya itu.
“Jadi Rizzar menjaga jarak dengan kamu karena kamu jomblo, Ra? Kamu kehilangan kesempatan bercanda lepas dengan Rizzar karena kamu jomblo?” tanya Viko mencoba mengklarifikasi.
 “Hmmm entahlah, Vik, tapi sepertinya seperti itu. Mungkin sebagian orang menganggap jomblo adalah ancaman bagi mereka yang pacaran?” Ara lagi-lagi tersenyum. 
“Atau, bisa jadi akunya yang kelewat lepas waktu bercanda jadi membuat Rizzar merasa nggak nyaman kali ya...,” lanjut Ara. Viko menggelengkan kepalanya, menandakan ia tidak sepenuhnya sependapat dengan Ara. “Semua tergantung dari sudut pandang mana kita memandangnya, Ra. Sejauh aku mengenal kamu, kamu itu tipe orang yang berteman dengan lepas sama semua orang termasuk Rizzar, aku atau rekan syuting kamu yang lainnya. Buat aku itu ga masalah dan asyik malah, membuat kita yang terlibat satu project bisa lebih akrab. Hmmm tapi beda halnya mungkin kalau ada perasaan terlibat disini,” ujar Viko membuat Ara memandang kearah Viko beberapa saat. “Apa ada rasa yang berbeda diantara kalian, maksud aku diantara kamu dan Rizzar?”
Ara tersenyum memikirkan ucapan Viko.
Rasa itu sesuatu yang sangat sulit untuk ditebak, kapan dia datang atau pergi. Selama rasa itu tetap berada di tempat yang tepat, tetap tersimpan dengan baik di dalam hati,  ada atau tidak rasa yang berbeda, bukannya tidak seharusnya mengubah pertemanan yang sudah terjalin? Aku cuma ingin hubungan aku dengan semua orang tetap baik, Vik, termasuk pertemanan aku dengan Rizzar”.
 Giliran Viko tersenyum lebar membalas senyuman Ara sambil menganggukkan kepalanya setuju.
“Aku juga lebih suka melihat kalian yang dulu dibanding yang sekarang, Ra. Hmmm ya udah, aku punya ide  tentang ini, Ra,” sambung Viko bersemangat.
“Ide???” tanya Ara dengan raut penasaran.
“Iyaaa, biar kamu dan Rizzar bisa bercanda lepas lagi, Ra.  Kita pura-pura  jadian dihadapan  Rizzar. Gimana?
Bola mata Ara membulat sambil menatap Viko.
“Kamu bilang salah satu alasan Rizzar menjauhi kamu adalah karena kamu jomblo kan? Kalau kita jadian, alasan Rizzar buat berjarak dengan kamu menjadi berkurang kan, itu artinya kalian bisa temenan lagi?”
Ara masih menatap Viko setengah percaya dengan usulan orang didepannya itu. Bukankah berpura-pura itu sama saja dengan berbohong? Padahal Ara ingin pertemanannya dengan Rizzar itu tetap tulus. Bagaimana mungkin kebohongan bersanding dengan ketulusan. Ara berperang dengan pikiran dan hatinya sendiri.
“Ra...,” panggil Viko menyadarkan Ara. Ara menggelengkan kepalanya ragu ke Viko.
“Aku rasa itu bukan ide yang cukup bagus, Vik. Aku  ga mau ada masalah di kemudian hari dengan media atau juga cewek kamu termasuk juga dengan Rizzar. Lagi pula aku tidak ingin mengemis pertemanan dengan menghalalkan berbagai cara, Vik. Aku ingin berteman dengan Rizzar karena dia ikhlas dan tulus melakukannya bukan karena kebohongan dan kepura-puraan, Vik”.
Viko ganti terdiam memikirkan kalimat Ara meski kemudian tetap yakin meneruskan rencananya itu. “Kalau soal media dan cewek aku, kamu tenang saja, Ra. Berita tentang kita jadian ini cuma diantara aku, cewek aku, kamu, Rizzar, dan ceweknya mungkin, semua bisa dikondisikan. Soal cewek aku, kamu juga tenang aja, dia udah banyak dengar dan tahu tentang kamu kok, insyaa Allah dia ga bakal cemburu dan bakal mengerti. Aku bakal menghubungi dia dulu sebelum menjalankan rencana ini. Soal Rizzar, okeee aku harus setuju dengan kalimat kamu tadi, tapi kita bukan sedang mengemis pertemanan dengan Rizzar, Ara. Ini kondisi khusus, Ra dan aku pikir kebohongan yang kita lakukan ini toh untuk kebaikan, agar Rizzar mau berteman dengan kamu tanpa terbebani dengan status jomblo kamu. Aku pikir sah-sah aja apa yang kita lakukan, Ra,” gantian Viko menjelaskan panjang lebar ke Ara.
Ara masih terdiam ragu mencerna ucapan Viko itu.
“Ara... ini hanya tentang sudut pandang, Rizzar berjarak ke kamu karena dia memandang status jomblo kamu adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan dalam pertemanan kalian. Padahal semestinya pertemanan kalian itu bisa tetap indah andai dia tidak di sudut pandang itu. Seperti aku ke kamu sekarang yang bisa tetap bercanda lepas, tanpa memandang kamu itu jomblo atau tidak,” sambung Viko lagi berusaha meyakinkan Ara sambil tersenyum.
Ara pun akhirnya mengangguk pelan, setuju.
Langkah pertama yang Viko lakukan, dia langsung menelepon ceweknya dan membeberkan rencananya dengan Ara itu kepada ceweknya dengan sejelas-jelasnya. Ara pun ikut nimbrung dalam pembicaraan itu karena Viko sengaja membuat sambungan pembicaraan lewat video call dan mengenalkan Ara secara langsung ke ceweknya terlebih dahulu. Ara ingin memastikan bahwa cewek Viko tidak masalah dengan rencana itu dan tidak salah paham kepada Ara.
Seperti yang Viko bilang sebelumnya, cewek Viko sepertinya cukup mudah memahami posisi Ara dan niat Viko untuk membantu Ara tentang Rizzar itu. Keterbukaan dan keramahan cewek Viko membuat Ara menjadi nyaman melakukan rencananya bersama Viko.
Setelah panggilan kepada cewek Viko selesai, secara resmi, rencana Viko pun dimulai.
Beberapa saat kemudian, Ara sedang asyik membaca script miliknya ditemani Viko sambil menghabiskan waktu istirahatnya ketika Rizzar menghampiri keduanya yang  sesekali bercanda.
“Hai guys, emang habis ini scene kalian berdua ya kok kalian kompak berduaan begini?” tanya Rizzar sambil tersenyum  dan mengambil script miliknya. Ia kemudian duduk di sebelah Viko. Ara diam, hanya tersenyum, sementara Viko sengaja mengambil banyak kesempatan bicara saat itu.
“Bukannya habis ini scene lo sama Ara lagi, ya Riz? Scene gue ama Ara sih masih setelah kalian. Gue scene bareng adik-adik kecil itu masih setelah ini,” jawab Viko  santai sambil tertawa kecil.
“Terus ngapain lo malah bercanda sama Ara disini, Bro? Adik-adik kecilnya kan disana?” lanjut Rizzar bertanya sambil menunjukkan jarinya ke tempat adik-adik kecil itu sedang bercanda.
“Emangnya ga boleh gue bercanda sama, Ara? Biasanya juga kalau lagi seproject bareng kita kan bercanda sama siapa aja, he he,” jawab  Viko lagi membuat Rizzar tersenyum canggung dan melirik sejenak ke Ara yang masih tetap membaca scriptnya. Iya saat mereka bareng di project sebelumnya, mereka bertiga terbiasa bercanda dengan lepas antar pemain, berusaha menghilangkan rasa canggung yang ada. Andai saja dia bisa tetap bersikap lepas dengan Ara. Rizzar pun sebenarnya sangat mengharapkannya, hanya saja sikon diantara dirinya dan Ara membuat semuanya tak lagi bisa sama.
“Oh iya, Riz mumpung lo nanya tentang  gue dan Ara, sekalian gue mau ngasih tahu sesuatu ke loe, Bro...,” ujar Viko dengan wajah riang sambil merangkul Rizzar yang memasang wajah penasaran itu.
“Sebenarnya, gueeee... udah jadian sama Ara, Riz,” ucap Viko dengan yakin. Ara yang awalnya asyik memelototi scriptnya, langsung menoleh ke Viko dan tersenyum lebar mendengarnya. Sementara Rizzar hanya terdiam menatap Viko, antara terkejut dengan pernyataan Viko tersebut dan entah apa lagi nama ketidaknyamanan yang ia rasakan tiba-tiba tersenyum dihatinya saat itu. Sekilas ia, melirik ke arah Ara yang sedang berbalas senyum  dengan Viko dengan wajah bahagia terlihat di keduanya itu.
“Kok lo diam aja, Riz... emang lo ga mau ngasih ucapan selamat gitu ke gue sama Ara?” tanya Viko tersenyum lebar membuat Rizzar ikut tersenyum lebih lebar.
“Sorry, gue bener-bener ga nyangka lo bakal jadian sama Ara soalnya, Bro. Selamat ya buat kalian berdua. Semoga.... awet yaaa,” ucap Rizzar sambil memeluk Viko. Ara terlihat sedang tertawa ketika Rizzar melihatnya.
“Selamat juga buat kamu ya, Ra,” sambung Rizzar lagi dijawab Ara dengan ucapan terima kasih diantara wajah riangnya itu. Ara sebenarnya tidak nyaman dengan topeng yang digunakannya saat itu, tapi ia tetap harus melakukan rencana itu dengan baik.
 “Tapi lo harus janji ya Riz, jangan bicara tentang gue dan Ara ke siapapun ya. Gue dan Ara pingin hubungan gue dan dia menjadi privasi diantara kami berdua aja plus lo dan cewek lo juga boleh deh,” lanjut Viko.
Rizzar menganggukkan kepalanya mengerti membuat Viko kembali menoleh ke Ara dan lagi-lagi mereka berdua  tertawa dalam bahagia. Harusnya Rizzar bahagia dengan kenyataan itu, bahwa Ara jadian dengan Viko, itu artinya dia bisa berteman biasa lagi dengan Ara, tapi entah kenapa hal itu justru bertolak belakang dengan apa yang dirasakan hatinya.
“Oh iya, Bro... emang lo sejak kapan pedekate sama Ara, kok tiba-tiba udah jadian aja?” tanya Rizzar penasaran.
Lagi-lagi Viko tersenyum ke Ara sebelum kemudian ia tersenyum lebar ke Rizzar.
“Udah beberapa bulan terakhir gue bergerilya menyentuh hati Ara, Riz, he he. Tapi Ara baru menjawabnya sekarang. Seproject bareng ini ada hikmahnya juga buat gue meyakinkan Ara, he he”.
Perbincangan mereka tentang seputar jadiannya Viko dan Ara pun terhenti ketika salah satu kru memanggil Viko bergabung dengan adik-adik kecil untuk latihan sebelum scene mereka diambil.
“Oh iya, Riz. Nanti malam sepulang syuting gue pingin mengajak lo sama cewek lo buat dinner di kafe deket  sini. Anggap aja sebagai ungkapan bahagia gue dan Ara yang baru jadian. Gue harap lo datang yaaa,” ucap Viko sambil menepuk bahu Rizzar. Rizzar masih memikirkan tawaran Viko itu, ketika Viko kembali berucap, “Gue sangat berharap momen jadiannya gue sama Ara bisa makin mendekatkan pertemanan diantara kita. Gue dan Ara bisa lebih berteman baik lagi dengan lo dan juga cewek lo”.
Rizzar menoleh kearah Ara sejenak mendengarnya kemudian kembali menatap Viko sembari tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. Viko  kemudian berlari menuju adik-adik kecil yang menunggu dirinya. “Ara, sampai ketemu nanti yaaa,” lanjut Viko sambil setengah teriak ke Ara dengan tawa lebarnya. Ara melambaikan tangannya dengan senyum tulusnya yang tak kalah lebar, “Semangat syutingnya, Vik... lakukan dari hati ya”. Lagi-lagi Rizzar menoleh kearah Ara mendengarnya. Kalimat Ara itu membuat Rizzar teringat akan apa yang terjadi diantara dirinya dan Ara yang sampai sekarang membekas tanpa ia tahu bagaimana untuk menghapusnya. Dan entah kenapa, ada semacam iri menyusup di hati Rizzar saat kalimat itu ditujukan Ara untuk Viko.
Saat itu hanya tersisa Ara dan Rizzar, mereka pun memutuskan untuk berlatih buat scene mereka selanjutnya. Keduanya berusaha untuk bisa tetap melakukan akting mereka dari hati, seolah hal itu adalah kesepakatan diantara keduanya meski tak tertulis. Dan entah kenapa, mereka hampir selalu berhasil melakukannya. Seolah mereka dipersatukan oleh energi positif satu sama lain meski kadang tanpa mereka sadari dan akui.
Beberapa saat kemudian, scene Rizzar dan Ara berhasil mereka selesaikan dengan baik dan lancar, Ara bergegas mengemasi barang-barangnya sebelum dirinya berganti scene. Rizzar terlihat melakukan hal yang sama, sesekali ia menoleh kearah Ara, ada sesuatu yang ingin diungkapkannya tapi ada ragu menahannya. Ara sebenarnya merasakan sikap Rizzar yang ragu itu, tapi ia memutuskan untuk diam. Ia tidak ingin menambah jauh lagi jarak diantara dirinya dan Rizzar hanya karena dia salah bicara atau bersikap.
“Riz, ...,” Ara hendak berpamitan ke Rizzar ketika kalimat itu terpotong oleh Rizzar.
“Ra, boleh aku tahu kenapa kamu menerima Viko sekarang, saat kamu seproject sama aku?” tanya Rizzar membuat Ara langsung menoleh ke Rizzar. Ara bingung harus menjawab apa karena rencana Viko itu pun tak pernah terbayangkan sebelumnya di benak Ara. Itu sebabnya pula, Ara membenci kebohongan karena menurut Ara kebohongan yang satu akan bisa memicu kebohongan-kebohongan selanjutnya untuk menutupi satu sama lain.
“Aku... aku menerima Viko karena.... karena aku perlu teman laki-laki buat melindungi dan menjaga aku, Riz,” jawab Ara akhirnya. Rizzar menatap Ara sejenak, “Teman? Bukannya kamu punya banyak teman yang siap melindungi dan menjaga kamu setahu aku, Ra?” lanjut Rizzar lagi.
Ara balas menatap Rizzar, “Iya, kamu mungkin  benar, Riz. Tapi... ada juga teman-teman yang memilih berjarak dan menjauh dari aku, seperti kamu salah satunya”. Entah kenapa kalimat itu tiba-tiba meluncur dari bibir Ara, seolah dia ingin Rizzar mengetahui apa yang dirasakannya tentang pertemanan mereka berdua.
“Jadi kamu menerima Viko karena aku berjarak dengan kamu, Ra?” tanya Rizzar tajam penuh rasa ingin tahu.
Ara tertegun mendengar pertanyaan itu, seolah Rizzar membaca apa yang di pikirannya. Namun ia berusaha mencari jawaban yang sesuai buat Rizzar. Ara kembali menoleh ke Rizzar kemudian tersenyum lebar kepadanya, “Viko sudah berjuang keras meyakinkan aku, Riz dan aku memercayainya, Riz. Itu sebabnya aku bilang ya kepada Viko. Aku percaya Viko bisa jadi teman yang baik buat aku”.
“Jadi kamu jadian dengan Viko hanya karena perlu teman, Ra? Lantas bagaimana dengan perasaan diantara kalian? Bukannya jadian itu artinya kamu menerima hatinya, Ra?” ujar Rizzar masih mengejar Ara dengan rasa penasarannya.
Ara lagi-lagi tersenyum, “Rasa itu sesuatu yang ada di hati, Riz. Dan aku percaya rasa itu bisa ditumbuhkan perlahan melalui dua orang yang berteman baik dan saling menjaga satu sama lain, Riz”. Rizzar langsung menoleh ke Ara mendengarnya, sejenak keduanya kembali bertatapan sebelum akhirnya Ara mengalihkan pandangannya ke arah Viko.
“Seperti yang Viko tadi bilang, aku berharap setelah aku jadian sama Viko, pertemanan kita bisa lebih lepas dan kembali normal seperti dulu lagi, Riz. Sekarang kita berdua sudah punya batas masing-masing, aku ada Viko dan kamu ada cewek kamu. Seharusnya kekhawatiran kamu dan orang-orang didekat kamu yang membuat kamu berjarak dengan aku bisa berkurang. Meski aku tidak terlalu berharap, tapi aku ingin pertemanan diantara kita bisa lebih baik lagi, Riz,” sambung Ara masih tetap menatap kearah Viko. Buat Ara menatap Viko yang sedang asyik dalam perannya itu lebih mudah dibandingkan harus menatap Rizzar yang duduk disebelahnya itu. Rizzar lagi-lagi menatap Ara dalam diam sejenak, kemudian tersenyum tipis, “semoga ya, Ra. Semoga kehadiran Viko bisa membuat kita bisa berteman seperti dulu lagi”. Rizzar bergegas berdiri dan berpamitan ke Ara, berniat menaruh beberapa barang kembali ke mobilnya. Sejenak Ara memandangi  punggung Rizzar itu, “Jangan lupa undangan dinner nanti malam, Riz. Kita tunggu kehadiran kamu dan cewek kamu ya,” ujar Ara setengah teriak membuat Rizzar langsung menoleh kepadanya kemudian mengangguk pelan sambil mengacungkan jari jempolnya.

Malam itu, waktu di i-phone Ara menunjukkan pukul 20.30 ketika Rizzar, Ara, dan Viko sedang duduk bertiga di sebuah kafe. “Maaf banget, guys, aku sudah coba memberitahu kabar jadian kalian ke cewek aku dan mengajaknya datang kesini, tapi kebetulan dia lagi ada kegiatan sekarang," ucap Rizzar dengan wajah setengah menyesal ke Ara dan Viko yang duduk di hadapannya itu. “Wah sayang banget, ya Riz, padahal gue berharap kita bisa saling ketemuan sekarang, gue pingin kita bisa temenan lebih akrab lagi,” ujar Viko, “selama ini gue dan Ara kan nggak pernah gabung bercanda  sama lo dan cewek lo. Gue pikir, kalau gue dan Ara sudah jadian begini, bakal lebih nyaman dan enjoy ngobrolnya”. Viko menoleh ke Ara, tersenyum lebar kepadanya dibalas Ara dengan senyuman tak kalah lebar sambil menganggukkan kepalanya pelan. Sementara Rizzar hanya tersenyum tipis melihat keduanya.
“Lain kali mungkin kita bisa janjian ketemuan lagi,” lanjut Viko dibalas dengan anggukan kepala Rizzar.
Viko kembali mengenang candaan mereka di project sebelumnya bersama Rizzar dan Ara, Viko merasa sangat terkesan dengan semua tawa dan senyum diantara mereka saat itu, begitu lepas dan tanpa beban.
“Apalagi becandaan lo dengan Ara yang polos banget itu, kalian yang bercanda, tapi kita-kita terbawa ketawa..., kalian itu benar-benar kocak pokoknya,” ucap Viko dengan santai sambil tertawa kecil.
Ara dan Rizzar pun ikut tertawa melihat Viko, flashback Viko itu membuat mereka seolah ada di masa itu lagi, merasakan senyum dan tawa yang lepas diantara mereka itu lagi. Baik Rizzar maupun Ara, keduanya sama-sama merindukan masa-masa itu, masa dimana mereka tak terbebani untuk berbagi senyum dan tawa. Dan malam itu, entah kenapa flash back Viko itu perlahan berhasil mengembalikan senyum dan tawa lepas mereka. Mereka bertiga pun merajut tawa demi tawa bersama dengan celetukan-celetukan yang sengaja Viko rangkai buat Rizzar dan Ara.
Waktu menunjukkan pukul 10.00 malam ketika Rizzar, Ara, dan Viko berada di parkiran hendak pulang.
“Ra, aku antar kamu pulang ya, soalnya sudah malam banget,” ujar Viko sambil tersenyum sambil mengedipkan matanya tidak jelas kepada Ara. Ara tersenyum lebar sambil balas tersipu malu dengan akting ngegombal yang dilakukan Viko dihadapan Rizzar itu.
“Udahan ah akting ngegombalnya Vik, malu tuh dilihat Rizzar,” ujar Ara sambil tersenyum kemudian disambut Viko dengan senyuman yang lebih lebar. “Perasaan aku sudah melakukannya dari hati deh, Riz, emang terlihat ngengombal, ya Riz?” tanya Viko ke Rizzar yang masih berdiri di hadapan keduanya.
Rizzar hanya tersenyum di tempatnya, meski melihat keduanya menghadirkan ketidaknyaman di salah satu hatinya, tapi dia berusaha mengabaikannya. “Bukankah seharusnya aku bahagia melihat mereka?”batin Rizzar saat itu.
“Jujur, buat gue tingkah lo  ke Ara tadi agak norak, Bro,” ucap Rizzar pelan sambil tertawa kecil disambut Viko dengan meninju pelan bahu Rizzar sambil tersenyum malu.  Ara pun tak kuasa menahan tawanya
 saat itu.
“Kalau kamu mengantar aku pulang, terus nasib mobilmu gimana, Vik?” tanya Ara serius.
Lagi-lagi Viko tersenyum lebar. “Tenang, Ra. Aku bisa pesan gojek buat nganter aku kesini lagi nanti, okeee”. Ara pun tertawa kecil mendengarnya sambil menganggukkan kepalanya.
“Sampai jumpa besok, Riz..., hati-hati di perjalanan pulang kamu,“ ujar Ara kemudian memandang kearah Rizzar sambil tersenyum lebar dibalas Rizzar dengan senyuman yang awalnya canggung kemudian perlahan semakin lebar sambil menganggukkan kepalanya.
Ara bergegas masuk ke dalam mobilnya dan Viko hendak menyusulnya ketika Rizzar menahan langkahnya.
“Vik, lo serius kan dengan perasaan lo ke Ara?” tanya Rizzar tiba-tiba. Rizzar terlihat serius  dengan senyum tertahan menatap ke arah Viko.
“Emang masalah buat lo, Riz gue serius atau nggak ke Ara?” jawab Viko balas bertanya sambil tersenyum lebar.
Rizzar terlihat canggung sejenak kemudian tertawa kecil, “ Gue... gue...gue  ga ada masalah dengan perasaan lo ke Ara, Bro. Gue percaya lo orang baik. Begitu pun Ara juga orang baik. Gue harap lo ga bakal nyakitin hati Ara yang baik itu dan gue yakin lo ga akan nyakitin dia”.
Viko balas tertawa kecil menatap Rizzar sejenak, pertanyaan Rizzar yang tiba-tiba itu terasa aneh baginya. Meski Rizzar menjaga jarak dengan Ara, tapi ada kepedulian disana, yang berusaha Rizzar simpan rapi meski kadang tetap terlihat.
Viko menepuk pelan bahu Rizzar, “Lo tenang aja, Bro, gue ga akan menyakiti hati Ara yang baik itu. Lo juga jangan sakiti hati Ara, ya Riz...”.
Rizzar tertegun mendengar penghujung kalimat Viko itu, “Apa maksud lo, Vik?”
Viko tersenyum lebar kearah Rizzar yang terlihat serius itu, “Kan lo yang bilang gue ga boleh menyakiti hati Ara karena Ara itu orang baik, berarti lo juga ga boleh menyakiti Ara bukan?”
 Jawaban Viko itu pun membuat Rizzar pecah dalam senyumannya. Rizzar merasa terlalu sensitif menanggapi ucapan Viko itu, meski sebenarnya kalimat Viko itu memang mengena di hatinya. Apa yang dilakukannya ke Ara akhir-akhir ini tentang menjaga jarak, mungkin saja menyakiti hati Ara dan Rizzar menyadarinya meski berusaha tidak memikirkannya.
Sementara itu, Ara yang sudah duduk manis di dalam mobilnya hanya tersenyum tipis melihat gerak gerik Rizzar dan Viko tanpa bisa mendengar apa yang mereka yang bicarakan.
“Semoga kebohongan ini bisa membuat kita berteman seperti dulu lagi, Riz. Aku benar-benar merasa bersalah melakukan hal ini, Riz”.
Viko terlihat melambaikan tangannya ke Rizzar dan bergegas masuk ke mobil Ara dan melajukan mobil itu menuju rumah Ara. Sementara itu Rizzar pun bergegas pulang dengan mobilnya. Lagi-lagi ucapan Viko itu terngiang di kepalanya, “Semoga aku bisa berteman dengan kamu lebih baik lagi, Ra. Selama ini, salah satu alasanku berjarak dengan kamu karena aku takut dari pertemanan kita yang nyaman itu, akan menghadirkan rasa yang berbeda, terlebih dengan status kamu yang jomblo itu, Ra. Dan sekarang kamu punya Viko,...”. Kalimat Rizzar itu terhenti, lagi-lagi ada yang  mengusik hatinya. Saat Ara menikmati kesendiriannya, Rizzar tidak bisa berteman dengan Ara seperti biasa demi menjaga hati ceweknya. Namun, sekarang saat Ara tak lagi sendiri dan jadian dengan seseorang, Rizzar bisa berteman dengan Ara seperti biasa tapi entah mengapa Rizzar tak bisa mengusir perasaan tidak nyaman yang selalu muncul di salah satu ruang hatinya.  
Sementara itu, Ara dan Viko sedang menikmati pemandangan sekitar di sepanjang jalan menuju rumah Ara.
“Vik, makasih banyak ya karena udah membuat aku dan Rizzar bisa perlahan tersenyum lepas seperti dulu lagi. Yaaa.. meski jujur aku tetap merasa bersalah ke Rizzar dengan kebohongan kita ini,” ujar Ara tersenyum lebar diantara lantunan musik dari salah satu radio yang diputar di mobil Ara itu.
“Aku juga ga nyaman dengan kebohongan ini, Ra... tapiiii sepertinya ini satu-satunya cara yang paling memungkinkan agar kamu dan Rizzar bisa bercanda seperti dulu lagi. Ga usah terlalu dipikirkan ya, Ra. Semoga apa yang kita lakukan ini bisa berujung kebaikan buat kamu dan Rizzar,” jawab Viko sambil menoleh sejenak  dan tersenyum lebar ke Ara.
Ara hanya tersenyum lebar, dalam hatinya ia merasa ragu apakah mungkin segala sesuatu yang diawali dengan kebohongan atau kepura-puraan akan berujung dengan kebaikan buat dia dan Rizzar. Namun di lain sisi, Ara pun tak tahu apa yang harus ia lakukan agar hubungan dia dan Rizzar bisa membaik dan mereka bisa tersenyum lepas seperti sebelumnya.
“Sampai kapan kita bisa bertahan dengan kebohongan ini, Vik? Serapi apapun kebohongan, dia pasti akan terbongkar juga,” lanjut Ara lagi.
Viko tertawa kecil, “Yups, kamu benar. Aku juga ga tau sampai kapan kebohongan ini bertahan, tapi semoga cukup sampai membuat Rizzar bisa berteman seperti biasa dengan kamu seperti dulu, setidaknya sampai Rizzar sadar dan tidak lagi menjadikan status jomblo kamu sebagai alasan untuk menjauhi kamu lagi”.
Ara lagi-lagi tersenyum menganggukkan kepalanya. Empat puluh menit berlalu sejak mereka berangkat dari parkiran cafe tempat mereka makan malam tadi, akhirnya mereka pun tiba di depan rumah Ara. Viko bergegas memesan gojek untuk kembali ke kafe tadi dan mengambil mobilnya.
 Ara sengaja menemani Viko sampai gojek pesanan Viko datang. “Oh iya Ra, besok sehabis syuting, kamu mau nggak ketemuan sama cewek aku di cafe tadi lagi, kebetulan cafe itu salah satu cafe favorit kita berdua, he he”.
“Oh ya??? Aku dengan senang hati menerima undangan kamu buat ketemu cewek kamu. Vik. Tapiii, yakin ga masalah kita ketemuan di kafe tadi, aku takut bagaimana kalau ternyata ketahuan Rizzar?” ujar Ara menoleh kearah Viko.
“Kamu tenang aja, Ra. Aku tadi sempat ngobrol sama Rizzar besok kayaknya dia sampai sore aja di lokasi syuting kita, dia ada urusan, dipanggil buat project film barunya sepertinya, Ra,” jawab Viko tersenyum lebar.
Ara menganggukkan kepalanya pelan kemudian balas tersenyum lebar.
“Nah abang gojek aku udah datang sepertinya, Ra. Aku pulang dulu, ya. Selamat istirahat ya dan jangan lupa tetap berdoa semoga pertemanan kamu dan Rizzar bisa kembali normal seperti dulu ya, he he. Sampai jumpa besok,” lanjut Viko sambil tertawa. Ara pun ikut tertawa mendengarnya. “aamiin aamiin aamiin, makasih banyak buat semuanya, ya Vik . Kamu hati-hati juga di perjalanan, sampai jumpa besok”.
Setelah bertukar salam, keduanya pun berpisah malam itu.

Keesokan harinya, Rizzar, Ara, dan Viko sudah tiba di lokasi syuting lebih pagi dari biasanya. Sesuai jadwal, syuting hari itu dijadwalkan sampai sore saja. Viko kembali dengan rencananya membantu Ara, dia sengaja membuat pancingan-pancingan buat Rizzar dan Ara agar mereka bisa bercanda lepas lagi. Dan cukup berhasil, Rizzar yang awalnya canggung pun dipaksa Viko untuk melupakan jaimnya itu dan bergabung dengan Ara dan dirinya, larut dalam candaan-candaan yang sedikit usil.
Syuting hari itu berjalan dengan penuh keceriaan terlebih diantara ketiganya.  Syuting berjalan lancar, bahkan cuaca pun mendukung, menyertai canda tawa diantara ketiganya. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 16.50 ketika Rizzar bergegas hendak sholat Ashar dan berpapasan dengan Viko.
“Bro, thank you buat hari ini. Gue seneng banget kita bisa bercanda lepas seperti dulu. Gue ga pernah ragu sama lo dan Ara, kalian berdua itu emang orangnya asyik banget, ha ha,” ujar Viko sambil menepuk lengan Rizzar. Rizzar pun balas tertawa lebar, “Gue kali yang harusnya terima kasih ke lo, Bro. Lo itu otaknya yang bikin kita bertiga jadi asyik menikmati hari ini dengan candaan lepas kita. Hmmmm, sepertinya jadian sama Ara bikin lo makin hidup, Bro”. Rizzar terdiam sejenak memandangi Viko yang pecah dalam tawanya, lagi-lagi ada rasa tidak nyaman di hati Rizzar saat dia memaksakan kalimat itu keluar dari mulutnya, “What’s wrong with me? (ind: Apa yang salah dengan diriku?)” ucap Rizzar di dalam hati.
 “Ya udah kalo gitu gue pergi dulu ya. Ara udah nungguin gue soalnya, he he. Have a great day, Riz (ind: Semoga hari lo menyenangkan)...,” sambung Viko, menyadarkan Rizzar. Rizzar balas tersenyum ke Viko. “Have a great day for you too, Vik. Enjoy your time (ind: Semoga hari lo menyenangkan juga, Vik. Nikmati waktu lo)...,” kalimat Rizzar pun terhenti menggantung, entah kenapa untuk sejenak hatinya berperang dengan otaknya untuk menyelesaikan kalimat itu, “with Ara (ind: dengan Ara)...”. Akhirnya susah payah kalimat itu pun berhasil diucapkan Rizzar sambil tersenyum lebih lebar ke Viko yang balas menganggukkan kepalanya dan tertawa kecil kemudian bergegas meninggalkannya
Waktu di arloji Ara menunjukkan pukul 17.00 ketika Viko bergegas menghampirinya.
“Hi, a good girl, how about your feeling today? Happy or (ind: Hai, perempuan baik, bagaimana perasaan kamu hari ini? Bahagia atau)...,” tanya Viko sambil menggoda Ara sambil tertawa. 
Ara menoleh kearah Viko sambil tersenyum lebar. “Hari ini aku merasa seneenggggggg banget. Melihat Rizzar beberapa kali tertawa dan bercanda lepas hari ini, benar-benar membuat aku merasa....,” kalimat Ara terhenti sejenak, ia terlihat sedang memikirkan apa kata yang mewakili perasaannya saat itu, “aku... merasa... lega dan bahagia. Terima kasih ya Vik, untuk semua bantuan kamu”. Viko menganggukkan kepalanya pelan, masih tetap dengan tawanya yang lepas itu. “Aku benar-benar lega mendengar kesan yang sama dari kamu dan Rizzar. Setidaknya aku merasa kebohongan kita ini tidak sia-sia, Ra. Aku bisa melihat kalian merasa bahagia lebih lepas  dari hari-hari sebelumnya. Kalian mulai kembali ke jalur yang benar”.
Ara tersenyum sembari mengangguk pelan. Di dalam hatinya, ada resah yang menghinggapinya, seolah bahagia yang dirasakannya sangat banyak hari ini hanya fatamorgana sebelum dirinya kembali menyadari bahwa Rizzar dan dirinya ternyata masih berada di tempat yang sama, tempat yang berjarak buat mereka. “Semoga saja tidak, aamiin,” ucap Ara lirih.
- Bersambung - 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar