Kamis, 12 April 2018

Ada Kisah Kita Diantara Kamu dan Aku : Rizzar Ara Part 7 - Awal Sebuah Kejujuran (Peri Baik dan Kurcaci Raksasa)


Rizzar Ara Part 7 : Awal Sebuah Kejujuran (Peri Baik dan Kurcaci Raksasa)

Ara akhirnya memutuskan membalikkan badannya kembali ke dalam kafe. Ia menyadari tidak semudah membalik telapak tangan meredakan kekesalan Rizzar karena kebohongannya terlebih memaafkan kebohongan yang dilakukannya.
Ara pun kembali ke tempat duduknya di kafe itu. Ara hanya tersenyum kepada kakaknya yang duduk di hadapannya. Ia seolah sedang berdamai dengan perasaan dan pikirannya tentang Rizzar saat itu. Kakak Ara balas tersenyum tak bertanya seolah bisa membaca apa yang terjadi diantara adiknya dan Rizzar.
Ara sedang melanjutkan makannya ketika kakaknya menatap ke belakang Ara, membuat Ara ikutan menoleh. Terlihat Rizzar sedang berdiri di belakang Ara hampir menyejajarinya.
"Bisa kita bicara sebentar, Ra?"
Ara terdiam lalu mengangguk pelan.
"Ya udah, Ra... Kakak tunggu kamu di mobil ya. Silahkan duduk Riz, kebetulan Kakak sudah selesai makan juga" ujar Kakak Ara bangkit dari duduknya sambil tersenyum bergantian ke Ara dan Rizzar.
"Maaf, Kak... aku tidak bermaksud mengganggu. Biar aku dan Ara cari tempat duduk lain saja," ucap Rizzar merasa tidak enak hati ke Kakak Ara.
Ara masih terdiam di tempat duduknya sementara Kakak Ara terlihat tersenyum lagi-lagi menatap bergantian Rizzar dan Ara.
"Kalian bicarakan masalah kalian baik-baik ya biar tidak ada yang mengganjal dan semuanya menjadi jelas," sambung Kakak Ara lagi. Selepas mengucap salam, Kakak Ara pun meninggalkan tempat duduknya, menyisakan Ara berdua dengan Rizzar.
Rizzar pun duduk di hadapan Ara, menatap gadis itu. Hening kembali menyapa keduanya sebelum kemudian Ara memberanikan diri tersenyum kepada Rizzar. Ara selalu percaya bahwa saat ia tersenyum tulus, maka hati orang lain bisa ikut tersenyum karenanya, tak terkecuali Rizzar.
"Apa kamu sudah makan, Riz?" tanya Ara ragu.
Rizzar diam, tetap menatap gadis itu kemudian menggelengkan kepalanya.
"Lebih baik kamu pesan makanan dulu sebelum kita bicara," lanjut Ara berusaha tersenyum lebih lebar dibalas anggukan pelan Rizzar. Ara pun langsung memanggil pramusaji. Rizzar memesan cappucino dan chicken steak serta air mineral. Rizzar masih tetap tak berucap, ia terlihat bingung harus memulai obrolan dengan Ara dari mana.
"Sekali lagi aku minta maaf, Riz. Aku benar-benar menyesal berpura-pura jadian dengan Viko," ucap Ara pelan akhirnya memutuskan memulai obrolan. Rizzar menatap padanya, Ara melihat ada raut kecewa disana tapi tak ada lagi kemarahan di wajah laki-laki itu.
"Aku tidak suka kebohongan, Ra," ucap Rizzar.
"Aku juga tidak menyukainya, Riz....," jawab Ara pelan, "hanya saja aku juga merasa kita tidak jujur satu sama lain". Ara mengaduk-aduk minumannya. Sementara Rizzar yang awalnya menatap kearahnya pun menundukkan pandangannya, ada sesal di raut laki-laki itu, rasa bersalah yang selama ini berusaha diabaikannya tentang Ara.
"Kenapa kamu harus berbohong, Ra?"
"Karena aku ingin kita bisa berbagi senyum dan tawa seperti dulu, lepas dan tidak terbebani apa-apa," ujar Ara tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya ke gelas minumannya sementara Rizzar terus menatapnya.
"Tapi kamu tahu pasti alasannya kenapa kita berjarak seperti ini, Ra".
Ara melihat kearah Rizzar sembari mengangguk pelan. "Ya, aku tahu, Riz. Mungkin aku terlalu berharap banyak tentang kita, bahwa kita bisa berteman dan bercanda dengan akrab padahal jelas-jelas kita punya pergaulan yang cukup berbeda meski dunia yang kita geluti sama," ujar Ara lagi-lagi tersenyum lebih lebar kearah laki-laki yang duduk di hadapannya itu, "ditambah lagi kamu punya cewek sedangkan aku single, membuat ruang menjadi lebih terbatas untuk kita bisa dekat".
Kopi pesanan Rizzar pun datang menyela diantara keduanya. Rizzar meminum cappucinopesanannya itu beberapa teguk. Sejak malam sebelumnya Rizzar langsung jatuh hati dengan menu di kafe langganan Viko itu, itu sebabnya Rizzar memutuskan kembali ke kafe tersebut malam ini meski ia harus memutar jauh. Kebetulan (?) itu pula yang menyebabkan dirinya sekarang bisa berbincang berdua lagi dengan Ara. Anehnya, tak ada lagi rasa kesal yang Rizzar rasakan ke gadis itu, entah sudah pergi kemana. Ara..., gadis itu seolah punya kemampuan untuk menghalau pergi dalam sekejap rasa kesal dan marahnya.
"Jujur, aku kangen masa-masa kita biasa bercanda lepas seperti dulu, Riz. Kamu itu seperti kurcaci yang nakal, suka bercanda dan usil banget, lucu tapi sekaligus nyebelin," sambung Ara tertawa kecil terlihat sedang memutar kembali memory-nya ke masa-masa itu sambil mengaduk-aduk minumannya. Rizzar tersenyum mendengar ucapan Ara itu. Memory Rizzar seolah juga kembali ke masa-masa itu.
"Aku juga merindukannya, Ra. Kita saling tertawa, aku suka ngusilin kamu dan ekspresi kamu yang lucu ketika itu. Kita saling berbagi, membahas banyak cerita kehidupan, berbagi ide sampai dengan kamu yang suka berbagi makanan denganku. Kita begitu riang dan menikmati masa-masa itu," ucap Rizzar dengan senyuman lebarnya melihat ke tangan Ara yang mengaduk-aduk gelas di hadapannya. Ara mendongakkan kepalanya dan menatap laki-laki itu dengan raut wajah tertegun. Ara tidak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulut Rizzar yang selama ini cenderung memilih diam dan berjarak dengannya.
Laki-laki itu balas menatap Ara, Ara tersenyum lebih lebar kearahnya dibalas Rizzar dengan senyuman yang tak kalah lebar.
"Hmmm, ngomong-omong kurcaci, emang ada ya kurcaci segedhe aku, Ra? " tanya Rizzar sambil tertawa kecil.
"Kamu itu... kurcaci raksasa," jawab Ara ikutan tertawa kecil sambil menganggukkan-anggukkan kepalanya membuat Rizzar tergelak mendengarnya.
"Boleh boleh ha ha. Kalau aku jadi kurcaci raksasa, berarti kamu jadi...," terlihat Rizzar memikirkan lanjutan kalimatnya sejenak, "peri...".
"Peri?" tanya Ara.
Rizzar menganggukkan kepalanya. "Iya... peri... peri baik," jawab Rizzar sambil tersenyum membuat Ara tersenyum, merasa tersanjung mendapat julukan itu.
"Memangnya menurut kamu, aku baik, Riz?" tanya Ara lagi.
Rizzar memandangi gadis di hadapannya itu kemudian menganggukkan kepalanya.
"Kamu membagi senyum tawa, nasihat, pelajaran hidup sampai makanan dengan aku, itu artinya kamu baik, Ra. Kamu berusaha untuk baik, ramah, dan menghargai ke semua orang, itu artinya kamu baik. Kamu tetap baik dan tersenyum ke aku meski aku jelas-jelas berjarak dan memperlakukan kamu berbeda dan tidak semestinya, itu artinya kamu baik. Kamu peri baik yang berusaha untuk memahami segala sesuatu dari sisi aku, Ra".
Ara tersenyum kearah Rizzar, "Tapi Peri Baik ini sudah melakukan kebohongan untuk mengemis pertemanan yang lebih baik dengan Kurcaci Raksasa. Sepertinya Peri Baik sedang lelah".
Lagi-lagi Ara terdiam sejenak.
"Kebohongan tetap kebohongan, aku sadar aku salah, Riz. Aku terlalu memaksakan sesuatu yang mungkin akan lebih baik untuk dilepaskan, pertemanan aku dan kamu. Aku minta maaf ya, Riz. Aku ingin tetap menjadi peri yang baik dan tidak ingin berubah nama jadi peri pembohong apalagi peri jahat, jadi mungkin lebih baik Peri Baik pergi menjauh dari Kurcaci Raksasa," sambung Ara serius menatap Rizzar sambil tersenyum lebih lebar. Rizzar tertegun mendengar kalimat Ara itu dan hanya terdiam, disaat ia memberanikan diri untuk mulai memperbaiki pertemanannya dengan gadis itu justru gadis itu memutuskan untuk mundur dan menjauh.
"Dimanapun kita berada, sejauh apapun kita, Peri mendoakan yang terbaik buat kamu, Kurcaci Raksasa. Semoga kamu makin sukses dan bahagia di dalam kehidupan kamu, Riz. Dan satu lagi, ... selalu jadi orang baik ya," sambung Ara dengan senyuman lebar dan raut wajah seriang mungkin. Rizzar hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan tak berucap apa-apa.
"Selamat makan malam, Riz. Aku duluan ya".
Ara bergegas menghabiskan minumannya yang belum habis kemudian berpamitan ke Rizzar yang masih terdiam di tempatnya. Lagi-lagi Rizzar hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan sambil menjawab lirih salam Ara kepadanya.
Ketika itu chicken steak pesanan Rizzar datang. Namun, rasa lapar yang dirasakannya saat itu tiba-tiba hilang entah kemana. Padahal Rizzar belum makan sejak siangnya. Rizzar seolah masih shock mencerna ucapan Ara padanya sambil melihati punggung Ara hingga hilang dari pandangannya.
Rizzar hanya melihati chicken steak di hadapannya itu, tak lagi berselera menyentuhnya. Ada sebentuk kehilangan yang dirasakan hatinya saat itu, kehilangan Peri Baik. Rizzar pun bergegas menghabiskan cappucino-nya yang tak lagi terasa manis di lidahnya, hanya tersisa rasa pahit seperti rasa kehilangannya.
Rizzar pun meminta pramusaji membungkuskan makanannya yang tidak tersentuh sedikit pun itu sekaligus meminta bill pembayaran.
Sementara itu, Ara baru saja masuk ke dalam mobilnya. Terlihat Kakak Ara menatap kearahnya.
"Gimana? Apa semuanya sudah jelas diantara kalian?" tanya Kakak Ara tersenyum manis ke Ara. Ara tersenyum. "Insyaa Allah, Kak. Semoga ini keputusan yang paling baik buat aku dan Rizzar," ucap Ara ragu. Ada perasaan yang mengganjal dan tidak nyaman di hatinya, entah kenapa.
Di lain tempat, Rizzar terlihat berjalan gontai ke mobilnya. Beberapa saat kemudian laki-laki itu sudah duduk di dalam mobilnya meski tak kunjung ia menyalakan mesinnya.
Pikirannya masih mengulang-ulang apa yang terjadi diantara dirinya dan Ara di dalam kafe sebelumnya. Ia keluarkan handphone-nya dari sakunya kemudian melihati nomor kontak bernama Ara. Rizzar tersenyum dan mengganti nama ARA dengan sebutan PERI BAIK. Tiba-tiba wajah laki-laki itu berubah sendu, "Kenapa kamu harus memutuskan pergi, Peri Baik? Padahal Kurcaci Raksasa ingin Peri Baik menemaninya". Tiba-tiba Rizzar merasakan sakit di lambungnya, sakit yang sebenarnya sudah dirasakannya beberapa saat sebelumnya tapi berusaha diabaikannya, "Sakit maagku sepertinya kambuh gara-gara aku tidak makan dari siang ditambah hanya minum kopi barusan," ucapnya pelan menarik nafasnya dalam-dalam sambil memegangi lambungnya yang sakitnya makin menjadi sembari menyandarkan kepalanya di kursi mobilnya beberapa saat. Berusaha kembali mengabaikan sakitnya, Rizzar pun mengemudikan mobilnya, pulang.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam saat Ara masuk kedalam kamar tidurnya. Ia mengecek beberapa pesan masuk di handphone-nya ketika kemudian ia teringat kembali obrolannya dengan Rizzar. Ara tidak memungkiri bahwa dia memang menyukai laki-laki itu sejak beberapa tahun lalu saat awal-awal mereka bertemu, tapi Ara juga sadar perasaan itu hanya bisa disimpannya rapi untuk dirinya sendiri. Terlepas dari rasa sukanya, Ara tetap ingin bisa berteman dengan Rizzar, sebelum akhirnya Ara merasa bahkan sekedar berteman dengan Rizzar pun tidak mudah baginya dan akhirnya dia memutuskan mundur seperti yang dikatakannya kepada laki-laki itu di kafe tadi. Ara ingin tetap menjadi Peri Baik untuk Kurcaci Raksasa, seperti sebutan yang diberikan Rizzar untuknya.
"Kurcaci Raksasa," ucap Ara lirih sambil tersenyum lebar. Ara membuka nomor kontak bernama Rizzar di handphone-nya, kemudian mengedit nama kontak itu dengan sebutan Kurcaci Raksasa. Ada  semacam rasa "sakit" yang dirasakan Ara saat itu mengingat keputusannya untuk berjarak dari Rizzar meski di sisi lain Ara merasa itu baik untuk Rizzar dan Ara. Selain itu ada perasaan tidak enak yang tetap dirasakannya sejak ia dalam perjalanan pulang dari kafe hingga saat ini dan entah kenapa beberapa kali Ara justru teringat tentang Rizzar.
"Semoga kamu baik-baik saja, Kurcaci Raksasa".
Sementara itu, Rizzar baru tiba di halaman rumahnya saat arlojinya menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Rizzar memegangi lambungnya yang makin terasa sakit itu sambil bergegas masuk ke rumahnya. Ia mengambil obat maag di kotak P3K kemudian hendak mengambil air putih di dekat tempat makan ketika Mama Rizzar menghampirinya.
"Baru pulang, Nak? Kamu sudah makan?" tanya Mama Rizzar.
"Rizzar tidak lapar lagi, Ma. Itu barusan Rizzar beli chicken steak, belum Rizzar makan sama sekali," ujar Rizzar pelan. Raut wajahnya terlihat lesu.
Mama Rizzar duduk disebelah Rizzar mengamati Rizzar yang memegangi lambungnya sambil meminum obat maagnya.
"Sakit maag kamu kambuh, Riz?"
"Iya, Ma. Tadi Rizzar telat makan," jawab Rizzar pelan.
"Mama bikinin makanan kesukaan kamu ya," ujar Mama Riza lagi dibalas gelengan kepala Rizzar.
"Makasih, Ma... tapi Rizzar nggak lapar. Lagipula perut Rizzar masih mual. Rizzar mau tidur aja".
Mama Rizzar terlihat menempelkan punggung telapak tangannya ke kening Rizzar. "Kamu demam, Nak".
Rizzar tersenyum kearah mamanya, "Rizzar gapapa, Ma. Rizzar cuma kecapekan aja. Rizzar ke kamar dulu ya, Ma".
Setelah sholat Isya', Rizzar pun langsung merebahkan tubuhnya di kasur empuknya. Ia berusaha memejamkan matanya diantara lambungnya yang masih terasa sakit dan perutnya yang masih saja mual. Namun entah kenapa pikirannya masih saja berkeliaran mengingat kalimat Ara di kafe tadi membuat pusing di kepalanya akibat demam makin terasa. Perlu beberapa menit untuk Rizzar sebelum akhirnya laki-laki itu bisa terlelap dalam tidurnya.
Jam di dinding kamar Rizzar menunjukkan hampir pukul dua belas malam saat Mama Rizzar masuk ke kamar Rizzar, mengecek kondisi Rizzar yang sedang tidak enak badan itu. Rizzar tertidur dalam posisi meringkuk memegangi lambungnya, terlihat keringat dingin memenuhi wajahnya dan tubuh laki-laki itu. Tubuh Rizzar pun sangat panas ketika Mama Rizzar memegangnya sehingga Mama Rizzar pun mengompres Rizzar berusaha menurunkan demamnya.
"Peri... peri... ," terdengar Rizzar mengigau dalam demam dan tidurnya.
Mama Rizzar mengusap-ngusap lembut tangan Rizzar yang memegang perutnya sambil satu tangannya lagi mengusap-usap lembut rambut buah hatinya itu.
"Apa lambung kamu terasa perih, Nak? Kita periksa ke dokter ya," ujar Mama Rizzar berusaha membangunkan Rizzar, tapi laki-laki itu tak mendengarnya. Mata Rizzar tetap terpejam dan tubuhnya masih menggigil akibat demamnya.
"Peri... jangan pergi Peri Baik.... , Ara... jangan pergi Ra," terdengar lagi Rizzar mengigau dalam tidurnya.
"Peri Baik? Ara?" gumam Mama Rizzar lirih bertanya-tanya sambil mengganti kompresan Rizzar. Mama Rizzar mengambil handphone Rizzar yang tergeletak tak jauh dari tangan Rizzar satunya. Terlihat nama kontak bernama "Peri Baik" disana.
"Ara... jangan pergi, Ra...," lagi-lagi Rizzar mengigau.
Di lain tempat Ara masih membaca buku berusaha untuk terlelap sambil mendengarkan kumpulan lagu di handphone-nya menggunakan earphone-nya. Matanya dari tadi tak kunjung bisa terpejam, seolah ada yang mengusik di hatinya meski Ara tidak tahu apa sebabnya. Terlihat handphone Ara bergetar, sebuah panggilan masuk dari Kurcaci Raksasa membuat Ara ragu untuk menjawabnya. Ara sudah bertekad akan mengambil jarak dengan Rizzar, tapi di satu sisi ada bisikan hatinya untuk mengangkat panggilan itu. Ara hanya melihati sembari mengusap-usap layar handphone-nya ketika tidak sengaja ia menyentuh kata "jawab" di layar handphone-nya. Ara baru akan menutup panggilan itu ketika terdengar suara lembut perempuan dari nomor Kurcaci Raksasa itu.
"Assalaamualaikum, boleh tahu ini nomer siapa? Ini Mama Rizzar yang bicara".
Ara tertegun mendengarnya dan melepaskan earphone dari handphone-nya.
"Waalaikumsalam, Tante. Ini... Ara, yang pernah main FTV bareng Rizzar. Maaf ada apa ya, Tante?" jawab Ara.
"Jadi ini nomer Ara, kalo Ara tentu saja Tante ingat orangnya. Maaf kalau Tante mengganggu malam-malam begini. Soalnya di nomer kontak handphone Rizzar tertulis Peri Baik dan beberapa kali Rizzar mengigau menyebut Peri dalam demamnya".
Ara terdiam mendengarnya.
"Rizzar sakit?" batin Ara bertanya, ada khawatir yang menjelma nyata di hatinya.
"Tidak apa-apa, Tante. Kebetulan Ara belum tidur juga," jawab Ara kepada Mama Rizzar kemudian,
"Rizzar sakit apa, Tante?"
"Sakit maagnya kambuh dan badannya demam sampai mengigau memanggil nama kamu dan Peri. Apa ada masalah diantara kalian, Nak?"
Ara terdiam sejenak. "Enggak, Tante. Tadi..., kami cuma bicara dan menyepakati sesuatu. Padahal tadi Rizzar memesan makan malam juga, Tante," jawab Ara lagi.
"Oooh, jangan-jangan chicken steak yang dibawa Rizzar pulang tadi yang belum sama sekali dimakannya karena katanya ia tidak lapar. Tante nggak tahu ada apa diantara kamu dan Rizzar, Ra. Tapi apa Ara keberatan kalau Tante minta tolong kamu buat datang kemari dan bicara lagi dengan Rizzar?"
Ara lagi-lagi terdiam. Belum sempat Ara menjawab pertanyaan Mama Rizzar itu ketika terdengar suara Rizzar memanggil mamanya.
"Mama kok belum tidur?" terdengar suara laki-laki itu bertanya ke mamanya.
"Kamu demam tinggi, Nak... makanya Mama kompres kening kamu biar demamnya bisa cepat turun," terdengar lembut suara Mama Rizzar di telinga Ara.
"Rizzar gapapa, Ma... cuma perlu istirahat aja. Mama istirahat ya. Insyaa Allah besok kondisi Rizzar udah baikan. Oh iya, Mama lihat handphone Rizzar?" terdengar suara Rizzar lagi.
"Ini Mama pegang Nak. Handphone-nya Mama matikan ya biar kamu bisa benar-benar istirahat...," terdengar suara Mama Rizzar lagi kemudian tak ada lagi suara apa-apa di telinga Ara.
Ara terdiam memandangi layar handphone-nya, panggilan dari Mama Rizzar tadi membuat Ara kepikiran kondisi Rizzar dan memikirkan kembali keputusan yang diambilnya.
"Apa keputusan aku berjarak dengan Rizzar salah? Bukannya selama ini itu yang diinginkan Rizzar?" ucap Ara lirih.
Sementara itu, di tempat lain, Mama Rizzar mencium kening Rizzar yang masih panas itu sebelum kemudian meninggalkan kamar Rizzar setelah Rizzar beberapa kali meyakinkan beliau bahwa kondisinya akan membaik esok harinya. Segera setelah Mamanya keluar dari kamarnya, Rizzar pun kembali terlelap.
Esok paginya, waktu menunjukkan pukul 06.00 saat Rizzar yang baru bangun dari tidurnya bergegas menuju meja makan. Kepalanya masih sedikit pusing, meski suhu badannya sudah mendekati normal. Terlihat Mamanya sudah menyiapkan makanan kesukaan Rizzar untuk sarapan. Lagi-lagi Rizzar meneguk obat maagnya untuk mengurangi rasa mual yang masih sedikit dirasakannya.
"Gimana demam kamu, Nak?" tanya Mama Rizzar sambil mengecup ubun-ubun Rizzar dan menempelkan telapak tangannya di kening Rizzar.
"Sudah mendingan kok, Ma," jawab Rizzar tersenyum tipis.
"Ya udah sekarang kamu makan ya, biar sakit maagnya cepet sembuh dan ga kambuh lagi. Mama udah masakin makanan kesukaan kamu, Nak".
"Iya, makasih banyak, Ma".
Rizzar memandangi makanan kesukaannya yang terhidang di meja itu, ingin sekali ia memakannya tapi perutnya sama sekali tidak terasa lapar. Tiba-tiba kalimat Ara beberapa saat sebelumnya kembali terngiang di kepalanya.
"Aku bisa merasakan bekal itu dipenuhi cinta Mama kamu ke kamu. Kamu pasti bisa melihatnya juga kan, Riz?"
Rizzar tersenyum kemudian menarik nafasnya dalam-dalam. Ada sedih yang menyusup di hatinya saat teringat kembali kalimat Ara tadi malam. Meski demikian, Rizzar mengambil dua sendok makanan kesukaannya itu ke dalam piringnya lalu menyuapkannya kedalam mulutnya. Ia tidak ingin mengecewakan Mamanya yang sudah membuatkan makanan itu penuh cinta sekaligus ia tidak ingin lemah karena sakit maagnya.
Seusai makan, Rizzar bergegas duduk di kursi santai yang menghadap taman di bagian belakang rumahnya, ia ingin menenangkan pikirannya yang masih saja terkurung oleh sosok Ara. Entah kenapa ucapan Ara semalam masih saja menyisakan sesak di hatinya.
Di depan pintu rumah Rizzar, setengah ragu akhirnya Ara mengetuk pintu itu setelah beberapa menit lamanya di berdiri dan menimbang-nimbang apa yang harus dilakukannya. Beberapa menit setelah Mama Rizzar menelepon, Mama Rizzar mengirimkan alamat rumahnya via SMS ke Ara dari handphone Rizzar. Jadilah pagi itu Ara memutuskan pergi ke alamat tersebut untuk pertama kalinya, ditemani kakaknya yang sengaja tak ikut masuk ke halaman rumah Rizzar dan menunggu di mobil. Ara langsung menyalami dan mencium punggung tangan Mama Rizzar yang membukakan pintu untuknya dengan senyuman hangat terlihat di wajah beliau.
"Alhamdulillah, Ara mau datang kemari. Maaf semalam Tante langsung mematikan panggilan di tengah pembicaraan kita karena Rizzar tiba-tiba terbangun".
Ara tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Ara mengerti, Tante. Oh iya, gimana kondisi Rizzar? Apa dia sudah bangun?"
"Dia sudah bangun, Ra. Demamnya juga sudah turun, meski badannya masih hangat. Nafsu makannya sepertinya masih belum pulih seperti semula, barusan Tante lihat dia hanya makan sedikit saja makanan kesukaannya. Dia bilang belum lapar dan perutnya masih mual. Tante sudah bilangin Rizzar buat istirahat di kamar, tapi Rizzarnya tetap pingin tidur-tiduran di taman belakang".
Ara hanya mendengarkan penjelasan Mama Rizzar sembari mengikuti kemana Mama Rizzar berjalan sambil menggandeng tangan Ara.
"Tante harap kalian bicara baik-baik ya, biar ga ada yang mengganjal di hati masing-masing," sambung Mama Rizzar dibalas anggukan pelan Ara.
Mama Rizzar menghentikan langkahnya, beliau mempersilahkan Ara untuk bicara empat mata dengan Rizzar yang terlihat berbaring di salah satu kursi santai sambil memandangi bunga-bunga di hadapannya. Sementara itu, Mama Rizzar kembali ke dapur membuatkan minuman buat Ara.
Kini tinggallah Ara berdua dengan Rizzar di taman belakang itu. Sejenak Ara memandangi laki-laki itu yang terlihat setengah melamun dengan wajah sayu itu. Pelan-pelan, Ara mengambil selimut yang tergeletak di kursi di dekat Ara kemudian langsung menyelimutkannya ke tubuh Rizzar, membuat Rizzar spontan menoleh kearahnya.
"Pagi Kurcaci Raksasa. Bukannya kamu masih demam, kok malah tidur-tiduran disini dan bukannya istirahat di kamar?"
Dengan raut terkejut, nyaris tak berkedip Rizzar terlihat memandangi Ara yang tersenyum kepadanya.
"Nggak...ga mungkin Peri Baik ada disini. Dia sudah memutuskan buat pergi dan menjauhi aku," ucap Rizzar lirih sambil beberapa kali menepuk-nepuk pipinya sendiri agar tidak berhalusinasi, "Ini pasti gara-gara aku demam dan terlalu kepikiran Ara". Lagi-lagi Rizzar menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, membuat Ara merasa bersalah ke laki-laki itu karena keputusannya semalam.
"Kamu nggak berhayal, Kurcaci Raksasa. Ini aku, Riz. Peri Baik memutuskan untuk tidak jadi pergi,Kurcaci Raksasa. Dia akan tetap menemani Kurcaci apapun yang terjadi," sambung Ara lagi sembari tersenyum lebih lebar.
Rizzar menatap Ara cukup lama, kemudian lagi-lagi menggelengkan kepalanya pelan.
"Ara ga mungkin datang kemari, Ara sudah memutuskan buat pergi," ujar Rizzar lagi sambil memejamkan matanya dan menutup rapat kedua telinganya dengan tangannya, tidak ingin mendengar suara-suara yang menurutnya tidak nyata itu. Sikap Rizzar itu pun membuat Ara tertegun di tempatnya, ia tidak menyangka Rizzar akan bereaksi seperti itu tentangnya. Selama ini Ara selalu merasa bahwa hanya Ara yang terlalu terbawa perasaan tentang pertemanan keduanya, tapi kini Ara sadar ternyata ia salah. Rizzar juga  merasakan hal yang sama meski laki-laki itu memilih untuk tidak memperlihatkannya.
Mama Rizzar yang saat itu hendak menyapa sejenak Ara dan Rizzar sembari membawakan minuman buat Ara pun terkejut melihat reaksi Rizzar terhadap Ara.
"Kamu nggak berhayal, Nak. Ini memang Ara. Mama yang meminta Peri Baik ini datang kemari dan bicara sama kamu, Riz," jelas Mama Rizzar sambil mengusap lembut kepala Rizzar. Rizzar pun mendongakkan kepalanya dan memandangi mamanya itu. "Mama tahu darimana tentang Peri Baik?"
Mama Rizzar tersenyum, "Semalam kamu mengigau memanggil Peri, Peri Baik. Mama lihat handphone kamu yang tergeletak, Mama nekat membukanya, tertera nama Peri Baik disana. Mama coba menghubungi nomer itu, Nak. Ternyata Peri Baik itu Ara. Mama sengaja meminta Ara datang kemari untuk bicara dengan kamu, Riz".
Rizzar menoleh kearah Ara, terlihat gadis itu tersenyum lebar kepadanya, ada rasa bersalah di tatapan Ara padanya itu.
"Sekarang Rizzar sudah percaya kan kalau itu benar-benar Ara?" tanya Mama Rizzar lagi. Rizzar menganggukkan kepalanya pelan.
"Sekarang Rizzar bicara empat mata baik-baik ya sama Ara, biar nggak ada lagi yang mengganjal di hati masing-masing. Mama tinggal ke dapur dulu ya," sambung Mama Rizzar diikuti anggukan kepala baik Rizzar maupun Ara. Kembali hening menyapa keduanya sesaat setelah Mama Rizzar masuk ke dalam rumah.
Rizzar terlihat menegakkan duduknya sambil melihati bunga-bunga di hadapannya.
"Apa Peri Baik boleh duduk menemani Kurcaci Raksasa?" tanya Ara sambil tersenyum lebar kearah Rizzar.
Rizzar menoleh dan membalas senyuman Ara tak kalah lebar, lagi-lagi menganggukkan kepalanya pelan.
"Kenapa kamu datang kemari, Ra? Semalam kamu bilang kalau kamu mau pergi menjauh dari aku. Apa Mama aku yang memaksa kamu datang?"
Lagi-lagi Ara tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Tidak ada yang memaksaku datang, Riz. Aku datang karena aku menyesal sudah mengucapkan kalimat itu semalam. Mana ada Peri justru pergi meninggalkan Kurcaci? Yang ada, Kurcaci yang lebih mungkin menjauhi Peri karena dia ingin bermain dengan putri cantik yang disukainya dan banyak orang serta melihat dunia lebih luas. Itu sebabnya aku datang, aku mau memberitahu Kurcaci bahwa Peri akan selalu menemani Kurcaci apapun situasinya sejauh apa pun kita terpisah, Peri tidak akan pergi meski Kurcaci kelak mungkin tak lagi mengingat Peri".
Ara kembali tersenyum lebar, menatap penuh kesungguhan kearah Rizzar. Rizzar tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, dia bisa melihat ketulusan Ara saat mengucapkan kalimat itu. Entah kenapa, hati dan pikirannya tiba-tiba terasa lega mendengarnya.
"Lagi pula aku ga mau sebutan kamu buat aku nanti berubah, Riz. Ntar kamu panggil aku Peri Kabur lagi, he he". Lagi-lagi kalimat Ara yang setengah bercanda itu membuat laki-laki itu tertawa.
"Oh iya, katanya sakit maag kamu kambuh ya? Semalam kamu tidak jadi makan di kafe?"
Rizzar meringis ke perempuan yang melihat kearahnya. "Kalimat kamu semalam langsung membuat rasa laparku jadi hilang, Ra. Padahal dari siang aku belum sempat makan, ditambah minum cappucino, jadilah lambung aku teriak-teriak menghukum empunya tubuh, he he," jelas Rizzar malu-malu membuat pengakuan.
"Maaf ya, aku tidak bermaksud mengusir rasa lapar kamu, Riz," jawab Ara sambil tersenyum, "tapi sesibuk apapun aktivitas kamu, kamu ga boleh sampai lupa makan, Rizzar. Sayangi lambung kamu, Kurcaci Raksasa".
"Iya, Peri Baik," ucap Rizzar tersenyum lebar, kembali mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Pertanyaan selanjutnya, kenapa kamu cuma makan sedikit pagi ini, padahal Mama kamu sudah membuatkan makanan kesukaan kamu buat menambah nafsu makan kamu? Katanya kamu tidak makan dari kemarin siang? Kamu suka kalo sakit maag kamu ga sembuh-sembuh ya?"
Rizzar lagi-lagi meringis sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Dari semalam sampai tadi pagi, aku bener-bener ga merasa lapar, Peri. Perut aku juga masih agak mual. Tapi aku ingat kata-kata kamu waktu di lokasi syuting dulu bahwa Mama sudah membuatkan makanan itu dengan penuh cinta buat aku. Makanya aku paksain makan meski cuma dua sendok, Peri," jelas Rizzar lagi, "tapi... sekarang baru berasa laparnya, Peri. Kurcaci janji bakal makan sebanyak-banyaknya makanan yang dibuat Mama dengan penuh cinta itu he he".
Ara tersenyum mendengarnya, laki-laki itu bernama Rizzar itu terlihat seperti anak kecil saat itu di hadapannya.
"Hmmm oke," ucap Ara lagi, "ketiga, Kurcaci kan semalam demam, terus kenapa sekarang bukannya  istirahat di kamar malah duduk-duduk di luar?"
Rizzar lagi-lagi meringis, "Aku... aku cuma ingin menenangkan diri, Peri. Dari semalam pikiran aku dipenuhi dengan Peri soalnya. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikiran aku, makanya aku berusaha nyari pelarian dengan melihat bunga-bunga disini. Tapi sejak Peri datang, anehnya beban itu tiba-tiba terasa hilang, Kurcaci janji bakal istirahat dikamar setelah ini he he".
Ara mengacungkan jempolnya dan tersenyum mendengar jawaban jujur dan polos Rizzar itu. Sudah lama rasanya, Ara tidak pernah melihat kepolosan Rizzar seperti saat ini.
"Peri temani Kurcaci makan di dalam yuk...," ujar Rizzar lagi diikuti anggukan kepala Ara. Ara membawa masuk minuman untuknya, mengikuti Rizzar yang berjalan di depannya.
Mereka pun duduk di meja makan keluarga Rizzar itu. Rizzar mengajak Ara makan sekalian bersamanya, tapi dengan halus Ara menolaknya karena kebetulan ia sudah makan sebelumnya. Ara melihati Rizzar yang menuangkan makanan kesukaan buatan Mamanya ke piringnya, terlihat mulut laki-laki itu sejenak komat kamit berdoa ketika kemudian Rizzar kembali melihat dan tersenyum ke arah Ara.
"Hmm kenapa, Riz? Ayo dimakan," ujar Ara sambil meneguk minumannya.
"Kurcaci boleh mengajukan satu permintaan ga, Peri Baik?" tanya Rizzar tersenyum lebar kemudian meringis.
Ara tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan.
"Peri kan baik ya... boleh ga kalau Kurcaci minta makannya disuapin Peri? he he".
"Kurcaci... namanya juga Kurcaci Raksasa, udah lebih dari gedhe, masak makan masih disuapin? Kurcaci kan bisa makan pakai tangan sendiri," jawab Ara terlihat tegas tapi tetap tersenyum ke laki-laki itu.
"Sekali aja Peri Baik, please... . Lagi pula tadi Peri Baik kan sudah terlanjur mengiyakan permintaan Kurcaci," lanjut Rizzar tak mudah menyerah membuat Ara pun akhirnya memenuhi permintaan laki-laki itu. Ini kali pertama Ara melihat sisi lain Rizzar yang belum pernah dilihatnya, biasanya laki-laki itu tak pernah sekekanakan seperti hari ini.
Ia mengambil sendok makan dari piring Rizzar itu. "Bismillaah, semoga makanan ini berkah untuk tubuh kamu, Riz," ucap Ara sambil tersenyum kemudian menyuapkan sesendok makanan itu ke mulut Rizzar.
Rizzar tersenyum lebar mendengarnya, penuh semangat Rizzar mengunyah makanan yang disuapkan oleh Ara. Gadis itu pun menunggui Rizzar sampai laki-laki itu menghabiskan makanan di piringnya sambil ia sendiri menghabiskan minuman yang dibuatkan Mama Rizzar untuknya. Mama Rizzar yang mengamati keduanya tak jauh dari sana, ikut tersenyum melihat kelakuan mereka. Ada lega di hati beliau melihat Rizzar sudah kembali ceria dan bersemangat.
"Makasih banyak sudah datang kemari, Peri Baik. Terima kasih karena Peri Baik memutuskan tidak pergi. Terima kasih, Ra," ucap Rizzar menatap Ara sambil tersenyum lebar kearahnya.
Ara balas tersenyum tak kalah lebar ke laki-laki itu, "Satu hal yang kamu harus ingat, Riz... dimana pun kita masing-masing berdiri dan sesulit apapun situasi diantara kita, Peri Baik akan tetap ada di tempat yang sama, menemani Kurcaci Raksasa dan tidak meninggalkannya. Bahkan jika Kurcaci pergi, Peri akan selalu menunggu Kurcaci untuk kembali berbagi cerita, senyum dan tawa bersamanya lagi".
Rizzar menganggukkan kepalanya, sekali lagi terdengar ia mengucap terima kasih sebelum gadis itu pergi.

- Bersambung -

Tersedia Selanjutnya Part Khusus Peri Kurcaci

Tidak ada komentar:

Posting Komentar