Minggu, 30 Juli 2017

YOU ARE THE ONE: "Maukah Kamu Menikah Denganku?" - Part 8.1

 PART 8.1: SAAT BAHAGIA YANG TAK SEMPURNA

Akhirnya hari yang tak sabar ditunggu-tunggu itu tiba, hari yang bukan hanya membahagiakan Riza tapi juga Nisa setelah rentetan suka duka penyusunan skripsi, sidang, dan revisi mereka jalani.
Hari ini sehari menjelang wisuda, Riza sedang mencoba setelan tuxedo baru hadiah kelulusan dari kedua orang tuanya. Sebenarnya, Riza tak meminta hadiah apa-apa, bagi laki-laki itu melihat papa dan mamanya tersenyum bangga padanya dan hadir menemani di acara wisudanya, itu sudah cukup jadi hadiah terindah buatnya.
"Anak Mama ganteng banget pakai tuxedo baru," ucap Mama Riza dengan raut bahagia melihat Riza yang sedang bercermin di kamarnya. Ada bangga di raut wajah perempuan itu.
Riza tersenyum, "Sebenarnya ga perlu bikin setelan baru buat wisuda, Ma. Setelan jas Riza yang dulu kan masih bagus dan jarang dipakai".
Mama Riza terlihat merapikan bagian kerah baju Riza dengan penuh rasa sayang.
"Gapapa, Nak. Toh selepas kuliah dan masuk ke dunia kerja, Riza bakal makin sering pakai baju-baju semacam ini".
Riza tersenyum manja ke Mamanya sambil menganggukkan kepalanya.
"Lagi pula, kan kamu bilang kalau besok mau ngenalin seseorang yang istimewa ke Mama Papa, Nak. Jadi kamu harus kelihatan super gantengnya biar dapat jawaban 'iya' dari Nisa," jelas Mama Riza sambil tertawa membuat Riza tersenyum tersipu.
"Makasih banyak, ya Ma...," balas Riza kemudian mengecup lembut kedua pipi Mamanya. "Tolong doakan Riza ya, Ma".
Mama Riza mengelus pipi laki-laki itu penuh cinta. "Mama dan Papa pasti selalu mendoakan yang terbaik buat Riza. Papa Mama selalu mendoakan kebahagiaan dan kebaikan buat Riza, termasuk soal Nisa," lanjutnya kemudian mendekatkan kepala Riza dan mengecup kening putranya itu agak lama.
Riza akhirnya menceritakan tentang Nisa kepada keluarganya setelah dia dinyatakan lulus kuliah beberapa minggu sebelumnya. Riza juga menceritakan garis besar yang terjadi diantara keduanya termasuk alasan Nisa belum mau menjawab 'iya'. Riza pun menceritakan bahwa selama beberapa bulan ini dirinya memutuskan 'belajar' bekerja, sengaja di luar perusahaan Papanya, karena ia ingin menjadi laki-laki yang bertanggung jawab buat Nisa.
Selepas mencoba tuxedo barunya, Riza buru-buru mengambil handphone-nya dan melakukan agenda rutinnya.
"Would you be my BFF forever and ever, Nisa? Maukah kamu menikah denganku? :)"
Di tempat lain, Nisa sedang asyik menyempurnakan sketsa tamannya di kamar kosnya. Seperti janjinya ke Riza, dia ingin menunjukkan sketsanya itu di hari wisuda. Seminggu terakhir ini, gadis itu ngebut menyelesaikan sketsanya setelah imajinasi dan mood menggambarnya sempat tersendat selama beberapa minggu paska revisi skripsinya.
Ayah dan kakak Nisa baru tiba nanti sore atau malam, Nisa sudah menyewa sebuah kamar apartemen harian untuk keluarganya menginap selama dua malam.
Nisa sedang memandangi sketsa tamannya yang nyaris sempurna sesuai harapan Nisa ketika mata dan kepala Nisa kembali terasa sakit dan tiba-tiba ia merasa mual. Gadis itu buru-buru mengambil obat di laci meja belajarnya dan meneguknya kemudian membaringkan dirinya di tempat tidur.
Sudah beberapa hari ini, sakit di mata dan kepalanya dirasakannya tapi dia berusaha mengabaikannya karena Nisa asyik menyelesaikan sketsa tamannya itu memanfaatkan imajinasi dan mood-nya yang sedang on fire. Meski demikian, Nisa selalu rutin meminum obatnya agar penyakit glaukomanya itu tidak sampai kambuh.
Nisa memiringkan tubuhnya sambil membuka handphone-nya, ada beberapa pesan masuk salah satunya dari Riza membuat Nisa kesekian kali terharu membacanya.
"Kamu benar-benar pantang menyerah, ya Riz," ucapnya pelan sambil tersenyum mengusap-usap layar handphone-nya itu tanpa membalas pesan Riza. Pandangan Nisa mengabur, Nisa memejamkan matanya. Tak berapa lama Nisa pun terlelap sekaligus berusaha mengusir sakit yang dirasakannya.
Waktu di jam beker Nisa menunjukkan pukul 11.06 ketika gadis itu terbangun dari tidurnya. Tak terasa ia sudah terpejam selama kurang lebih satu jam. Sakit di kepala dan matanya masih saja tidak berkurang.
"Kamu harus bisa mengalahkan sakit kamu, Nis... kamu ga boleh lemah, Nisa," ucapnya lirih menyemangati diri sendiri.
Nisa pun kembali duduk menghadap meja belajarnya, kembali mengamati sketsa tamannya itu dengan raut puas, tak sabar Nisa ingin menunjukkannya ke Riza dan mendengar pendapat laki-laki luar biasanya itu. Nisa pun memasukkan gulungan sketsa tamannya itu ke tempatnya, menggantungnya di sebelah baju toga hitam dan kebaya pink untuk wisudanya. Nisa kembali teringat pesan Riza yang belum dibalasnya, ia pun bergegas mengambil handphonenya.
"Sampai bertemu di tempat wisuda ya, Riz :). Sesuai janji, aku bakal tunjukin sketsa taman aku ke kamu untuk pertama kalinya :D," jawab Nisa akhirnya, mengalihkan jawabannya akan permintaan Riza, berusaha membuat laki-laki itu tidak terlalu kecewa. Nisa pun mengambil diary dari laci mejanya.
"Kalimat ajaib Riza yang ke 1101 hari ini, entah kenapa membuatku tiba-tiba ingin memarahi diri sendiri karena masih membiarkan Riza meminta kesekian kalinya dengan jawaban yang sama.
Riza..., hatiku ikut tertolak dan sakit tiap kali aku menahan tangan dan mulut aku untuk menjawab 'iya'.
I love you but sorry, Riz," tulisnya.
Nisa mengambil bungkusan kotak kecil berwarna biru di lacinya kemudian tersenyum lebar kearahnya, "Semoga kamu suka dengan hadiah kecil ini, Riza".
Lagi-lagi ada pesan masuk dari Riza.
":D. Aku sudah tidak sabar melihatnya, Nis he he. Seperti halnya aku tidak sabar bertemu dengan ayah kamu dan mengenalkan kamu ke orang tua aku besok :D. See you, Nisa :)".
Nisa tersipu dan tersenyum simpul beberapa kali membacanya. Ada rasa deg-degan yang tiba-tiba Nisa rasakan membaca kalimat Riza itu seolah Riza akan melamarnya.
Di satu sisi, Nisa penasaran bagaimana raut wajah Riza saat itu membaca balasan pesannya. Ada rasa bersalah ke Riza yang menghantui Nisa karena belum bisa menjawab 'iya'.
Nisa pun akhirnya memutuskan merapikan kamarnya dan memasukkan barang-barangnya yang akan dibawanya ke wisuda esok hari, termasuk kado kecil buat Riza. Tak terasa 30 menit Nisa melakukannya ketika perutnya semakin mual, membuat Nisa buru-buru masuk ke tempat mandinya dan langsung mengeluarkan semua isi perutnya.
Sakit di mata dan kepalanya makin menjadi setelahnya, membuat Nisa terhuyung-huyung berusaha menggapai tempat tidurnya. Namun baru tiga langkah, Nisa tak kuat lagi menahan keseimbangan tubuhnya dan terjatuh mulai kehilangan kesadarannya.
"Aku ga boleh menyerah... aku ga boleh ngecewain dan bikin sedih ayah dan Riza," batin Nisa pelan memandangi baju wisudanya dan sketsanya sebelum akhirnya benar-benar kehilangan kesadarannya. Beberapa bulir air mata mengalir di pipi cantiknya yang pucat itu.
"Bangun, Nis... hari ini kan kita mau menikah, kok kamu malah tidur?" tanya Riza yang terlihat tampan dengan balutan tuxedo hitamnya saat itu. Mata Nisa perlahan terbuka, terlihat kakak Nisa tersenyum kepadanya selain Riza.
"Menikah? Memangnya aku sudah bilang iya ke kamu, Riz?" tanya Nisa tertegun dengan suara seraknya.
Laki-laki itu tersenyum lebar menganggukkan kepalanya, menunjukkan cincin di tangannya yang sama dengan cincin yang dipakai Nisa".
Mata Nisa perlahan terbuka, gadis itu pun menyadari ternyata ia baru saja bermimpi. Bibirnya otomatis tersenyum mengingat mimpinya, membayangkan kebahagiaan andaikan mimpi itu nyata. Nisa kemudian menyadari dirinya tergeletak pingsan di lantai kamarnya, entah sudah berapa lama. Nisa pun berusaha berdiri, tubuhnya terasa lemah tak bertenaga.
Kepala dan matanya masih terasa sakit meski tak seberapa, Nisa pun meneguk air putih di botol minumnya lalu mengambil susu dan roti simpanannya dan bergegas menghabiskannya.
Ia lirik jam bekernya, jam 13.57... itu artinya satu jam lebih Nisa tergeletak pingsan di lantai.
Setelah meminum obat dan menenangkan dirinya, Nisa pun bergegas mengambil wudlu, Nisa teringat ia belum menunaikan sholat zhuhurnya. Seusai sholat, Nisa mengambil handphone-nya, siapa tahu ada kabar dari ayah atau kakaknya, tapi yang tertera di layar justru pesan masuk dan beberapa miscall dari Riza.
Pesan Riza yang pertama tertera jam 12.20. "Nisa, kok perasaanku tiba-tiba ga enak ya. Apa kamu baik-baik aja?"
Kemudian diikuti miscall Riza dari whatsapp tiga kali dan dari telepon biasa dua kali. Nisa tidak menyangka kenapa perasaan Riza seolah terhubung saat dirinya seperti itu dan ini adalah kali kedua.
"Maaf Riz, aku baru bangun. Aku baik-baik aja, mungkin itu tadi cuma perasaan selintas lalu kamu aja. Anyway, makasih ya untuk semua perhatian kamu buat aku :). Riza is the best man that Nisa ever had :P :D".
Nisa tersenyum lebar mengetikkannya, lagi-lagi ia sengaja tak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Seperti yang pernah ia bilang ke Riza, ia lebih ingin berbagi senyum dan tawa dengan laki-laki luar biasanya itu, bukan menambah khawatir di hati Riza meski sebenarnya ia ingin sekali berbagi hati dan hidup serta banyak hal dengan Riza sepanjang usianya.
Waktu menunjukkan pukul 15.19 ketika terdengar suara pintu kamarnya diketuk beberapa kali tanpa henti. Terdengar suara Ana memanggil beberapa kali namanya, membuat Nisa buru-buru mengenakan jilbab langsungnya.
"Kamu baik-baik aja kan, Nis? Sakit mata kamu ga kambuh kan? Soalnya tadi Riza ngejapri nanyain. Tadi aku lagi menjemput mama papa di airport soalnya," ucap Ana langsung memberondong Nisa dengan beberapa pertanyaan dan penjelasan membuat Nisa sempat tertegun mendengarnya.
Nisa pun tertawa kecil. "Aku baik-baik aja, Na. Aku juga sudah memberitahu Riza kok. Atau kamu mau fotoin aku buat dikirim ke Riza biar dia yakin kalo aku baik-baik aja?" jawab Nisa setengah bercanda membuat Ana tergelak dalam tawa.
Nisa tak menyangka Riza sampai menghubungi Ana buat memastikan kondisinya.
Pembicaraan terkait Riza pun langsung beralih seketika saat Ana melihat baju kebaya Nisa yang tergantung di dinding kamarnya. Mereka pun larut dalam obrolan kerempongan perempuan menjelang wisuda, termasuk rencana "make up" keduanya esok pagi di kamar Nisa. Setelahnya, Ana pun berpamitan ke Nisa.
"Jangan lupa siapkan hati kamu buat menjawab 'iya' ke Riza ya, Nis".
Kalimat penghujung Ana langsung membuat gadis itu tertegun di tempatnya.
"Emang Riza bilang apa ke kamu, Na?"
Ana tersenyum lebar kearah Nisa.
"Ga ada, dia cuma minta doain biar jawaban kamu bisa berubah jadi 'iya' aja dan aku ada sebagai Tim Riza sekaligus Tim Nisa he he".
Nisa tersenyum lebih lebar mendengarnya. Entah kenapa Nisa suka dag dig dug membayangkan tingkah laku Riza yang kadang susah ditebak.
Malam itu, Nisa menemani ayah dan kakaknya makan malam dan mengobrol bersama di kamar apartemen yang disewanya. Terlihat raut bangga di wajah ayah tercintanya ketika Nisa mencoba baju toganya di depan keluarganya.
"Anak bungsu Ayah makin cantik dan dewasa aja," ujar ayah Nisa membuat Nisa tertawa manja.
"Mama pasti bangga kalau bisa melihat Nisa seperti sekarang sama sepertinya bangganya Ayah ke Nisa," lanjut ayahnya membuat suasana hening sejenak. Nisa menghambur ke pelukan ayahnya, matanya berkaca-kaca tapi ia berusaha agar air matanya tidak jatuh.
"Andai mama masih ada, kebahagiaan Nisa pasti semakin sempurna, Yah".
"Nisa jangan jadi sedih ya, Nak. Yang terpenting kita selalu doakan mama, Sayang. Meski mama sudah tidak disini lagi bersama kita, mama selalu ada di hati kita semua," lanjut ayah Nisa lagi mengecup kening putri bungsunya itu penuh kasih sayang.
Terdengar celotehan keponakan Anisa yang masih balita bernama Nuna itu merangkak di karpet ruang bersama di kamar itu, persis di depan Nisa. Nisa pun menggendong keponakannya itu dan mengajaknya bercanda. Keponakannya terlihat memainkan topi toga Nisa.
"Sepertinya sebentar lagi Tante Nisa bakal ngenalin calon Om-nya Nuna ke keluarga besar nih. Atau jangan-jangan besok pas wisuda bakal ada cowok yang nemuin Kakek buat ngelamar Tante Nisa," sahut kakak Nisa yang duduk di sofa samping ayah Nisa, tersenyum lebar menggoda Nisa.
Terlihat wajah ayah dan kakak iparnya ikutan tersenyum memandang kearah Nisa, membuat Nisa tersipu.
"Apaan sih Kak Nina, Nisa kan baru selesai kuliah... jadi Nisa mau kerja dulu, belum kepikiran buat nikah. Lagipula calonnya juga belum ada he he". Tiba-tiba bayangan Riza yang tersenyum lebar tergambar jelas di pikirannya seolah ingin membantah ucapan Nisa dan mengingatkan gadis itu bahwa ada Riza yang ribuan kali meminta Nisa menikah dengannya. Entah apa reaksi keluarga Nisa saat esok Riza muncul mengenalkan dirinya ke ayah dan kakaknya, semoga saja laki-laki itu tidak berbuat nekat melamarnya. Nisa pun tak berani membayangkan bagaimana nanti saat Riza mengenalkannya ke orang tua Riza, ia takut Riza semakin berani memintanya menjawab 'iya'.
Waktu di arlojinya menunjuk ke angka sembilan malam saat Nisa pulang dari kamar apartemen itu ke tempat kosnya. Esok pagi, jam 6 keluarga Nisa akan menjemput Nisa di kosannya setelah gadis itu selesai dirias. Mereka akan bersama-sama menuju tempat wisuda.
Nisa mengambil handphone-nya yang ia simpan di sakunya. Ada pesan masuk dari Riza sejam sebelumnya.
"Apa keluarga kamu sudah datang, Nisa? Besok selepas prosesi wisuda kita bertemu di pintu keluar A ya, Nis. Kamu bilang kalau keluarga kamu dapat tempat duduk di dekat situ kan? Aku akan bawa kedua orang tuaku kesana. Aku mau kita foto bersama, Nisa :)".
Nisa tersenyum membacanya.
"Keluargaku udah datang menjelang maghrib tadi, Riz :). Iya, besok aku tunggu kamu di pintu keluar A, Riz... , tapi aku harap kamu besok jangan bicara yang aneh-aneh ya di depan ayahku. Aku benar-benar belum bisa menjawab iya, Riza. Maaf ya...".
Lama tak ada jawaban dari Riza hingga Nisa merasa mungkin permintaannya barusan menyinggung hati Riza ketika lima menit kemudian terlihat di layarnya Riza is typing
" :D :).
Maukah kamu menikah denganku, Nisa? :) Please... please... please kali ini kamu tenangkan diri kamu dan pikirkan masak-masak permintaanku malam ini, Nis. Aku tunggu jawaban kamu besok :)".
Nisa menarik nafasnya dalam-dalam, air mata mengalir disudut mata gadis itu gara-gara Riza. Laki-laki itu tetap tak peduli dengan semua penolakan Nisa dan tetap pada keyakinannya untuk menikahi Nisa. Padahal membayangkan dirinya menjawab 'tidak' ke Riza di depan keluarganya bahkan di depan ortu Riza membuat hatinya semakin terasa sakit dan bersalah ke laki-laki itu.
Setelah sholat, Nisa pun bergegas menyetrika kembali baju toganya. Makin malam, sakit di kepala dan mata Nisa makin terasa. Nisa pun meminum obatnya dan berusaha memejamkan matanya. Namun, permintaan Riza selalu datang menyela dan malah menambah sakit kepalanya, membuat Nisa tak kunjung terlelap. Hampir dua jam Nisa menahan rasa sakit di kepala dan matanya ketika akhirnya gadis itu pun berhasil tertidur.
Waktu di jam beker Nisa menunjuk ke angka 01.00 pagi ketika Nisa terbangun dengan keringat dingin hampir di sekujur tubuhnya. Gadis itu terlihat kesakitan, memegang kepalanya. Perutnya kembali mual, membuat Nisa memaksakan dirinya tertatih berjalan menuju kamar mandinya dan beberapa saat kembali muntah hebat seperti sehari sebelumnya. Air mata Nisa mengalir deras dini hari itu, antara rasa sakit yang semakin tak tertahankan dan rasa takut yang tiba-tiba menyergap Nisa bahwa dia tidak bisa ikut wisuda esok harinya serta membuat kecewa ayah juga keluarganya yang jauh-jauh datang untuk melihatnya diwisuda.
Dengan berpegangan di dinding, Nisa berusaha keluar dari kamar mandinya. Susah payah Nisa meraih pinggiran tempat tidurnya dan terduduk di lantai dengan kepala tersandar diatas kasurnya.
"Tuhan, tolong kuatkan hamba melawan rasa sakit ini. Hamba tidak ingin membuat khawatir ayah. Hamba mohon hilangkan rasa sakit ini setidaknya sampai hamba selesai wisuda," batin Nisa sambil menangis tanpa suara memandangi baju wisudanya.
Sesekali Nisa mengerang lirih kesakitan saat sakit di kepala dan matanya menguat sampai kemudian lagi-lagi kepala Nisa seperti terkena hantaman palu membuat gadis itu kehilangan kesadarannya.
Waktu menunjukkan pukul 04.00 ketika terdengar suara Ana memanggil nama Nisa sambil mengetuk pintu kamar gadis itu.
Nisa perlahan terbangun dari pingsan dan tidur panjangnya, masih dalam posisi terduduk di lantai di pinggiran kasurnya.
Dengan lunglai, Nisa membukakan pintu kamarnya buat Ana.
"Na, apa tukang riasnya udah datang?" tanya Nisa berusaha tersenyum lebar ke Ana yang terlihat beberapa kali menguap di hadapannya itu.
"Belum, Nis... aku cuma memastikan kamu sudah bangun dan bersiap-siap sebelum dirias aja".
Ana pun kembali ke kamarnya dan bergegas mandi serta bersiap-siap sementara Nisa masih terduduk di meja belajarnya, memakan roti dan coklat untuk membuat tubuhnya kembali bertenaga. Tak lupa ia kembali meminum obatnya.
"Bismillah, Nisa. Kamu pasti kuat insyaa Allah. Kamu akan baik-baik aja," ucap Nisa lirih kemudian bergegas bersiap-siap.
Selepas sholat Subuh, Nisa pun sudah memakai baju kebayanya dan siap menunggu gilirannya dirias setelah Ana. Ana terlihat cantik dan makin segar dengan make up naturalnya dipadu kebaya hijaunya. Kemudian tiba saatnya Nisa untuk dirias, gadis itu pun menyiapkan jilbab soft pink-nya yang akan dipadukan dengan kebaya pinknya.
"Mbak Nisa kok kelihatan pucat? Apa Mbaknya sakit?" tanya perias itu membuat Ana menyadari ada yang tidak biasa dengan Nisa.
"Iya, Nis... aku baru nyadar kamu kelihatan pucat. Apa mata kamu sakit lagi?"
Nisa menggelengkan kepalanya sambil melebarkan senyumannya. Sakit di mata dan kepalanya masih terasa, tapi Nisa bertekad untuk berjuang keras melawan rasa sakitnya itu.
"Aku baik-baik aja, kok Mbak... Na... cuma semalam agak susah tidur aja he he".
"Tapi kening Mbak Nisa panas banget lho Mbak".
Ana langsung menghampiri Nisa dan menempelkan tangannya ke kening Nisa.
"Iya, Nis... panas banget...kamu demam ya?"
Nisa lagi-lagi tersenyum dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.
Waktu menunjukkan pukul 05.45 ketika gadis itu sudah selesai dirias dan menjelma menjadi perempuan yang sangat cantik dan anggun.
"Wah kalau Riza melihat kamu seperti ini, dia pasti makin bersemangat buat ngelamar kamu jadi istrinya, Nis".
Nisa tergelak mendengarnya, wajahnya sedikit merona merah mendengar ucapan spontan Ana itu.
"Cie... yang tersipu malu...," goda Ana lagi membuat Nisa makin tertawa.
"Kita foto berdua dulu yuk Nis, mumpung masih fresh riasannya".
Nisa dan Ana pun berfoto berdua beberapa kali menggunakan handphone Ana.
Ana hendak bangkit dari duduknya dan kembali ke kamarnya ketika Nisa menahannya. Beberapa saat Nisa terlihat ragu untuk bicara.
"Na, aku mau minta tolong ke kamu sebagai Tim Riza sekaligus Tim Nisa ya".
"Minta tolong apa, Nis?" tanya Ana tersenyum sekaligus penasaran.
"Kalau hari ini... ternyata... aku ga bisa ikut wisuda, tolong jangan beritahu Riza kalau aku sakit setidaknya sampai prosesi wisuda selesai ya".
Ana tertegun mendengarnya, raut wajahnya berubah khawatir, "Jadi beneran mata kamu sakit lagi, Nis?"
Nisa tersenyum, "Sejauh ini, aku baik-baik aja kok, Na meski mata dan kepala aku terasa sakit. Hanya saja tiba-tiba aku merasa takut kalau kemungkinan terburuk itu terjadi tanpa diduga-duga. Tapi aku berharap dan berdoa semoga hal terburuk itu ga akan terjadi sekarang. Aku optimis sakit di kepala dan mata aku akan hilang perlahan, terlebih aku sudah meminum obat dari dokter... dan semuanya akan baik-baik aja".
Ana menyanggupi permintaan Nisa itu kemudian tersenyum dan menyemangati Nisa.
Waktu menunjukkan pukul 06.00 ketika Kakak Nisa bersama keponakan kecilnya sudah berdiri di pintu kamar Nisa yang terbuka itu.
"Wah, lihat Tante Nisa kelihatan cantik ya, Sayang, " ucap Kakak Nisa dengan raut ceria. Nisa pun tersipu dan tertawa mendengarnya sambil mencium gemas pipi keponakannya itu. Nisa pun bergegas mengambil tas tangannya, tas kertas berisi toganya, dan tak lupa sketsa tamannya. Sakit di kepala dan matanya tiba-tiba kembali terasa menguat membuat Nisa berusaha lebih keras melawan sakitnya.
Nisa baru saja keluar dari pintu rumah kosnya, berjalan beriringan dengan kakak dan keponakannya menghampiri ayah dan kakak iparnya yang menunggu di mobil untuk berangkat ke tempat wisuda, ketika Nisa tiba-tiba memegang erat lengan kiri kakaknya itu.
"Kenapa Nisa?"
"Mata dan kepala Nisa sakit banget, Kak," ucapnya lirih dengan ekspresi kesakitan. Tiba-tiba Nisa mengerang kesakitan dan langsung terkulai pingsan, membuat kakaknya yang menahan kepala Nisa dipangkuannya dengan tangan kirinya panik menepuk-nepuk pipi dan memanggil-manggil nama Nisa.
Ayah dan kakak ipar Nisa langsung bergegas keluar dari mobil, penjaga kos dan sebagian penghuni kosan Nisa itu pun ikut keluar dan panik termasuk Ana yang langsung berjongkok di dekat Nisa berusaha ikut menyadarkannya. Tanpa banyak membuang waktu, keluarga Nisa membawa Nisa ke rumah sakit ditemani penjaga kosan Nisa.
Waktu menunjukkan pukul 07.00 ketika mobil Riza dan orang tuanya tiba di parkiran tempat wisuda.
Penampilan Riza dan tuxedo barunya itu membuat beberapa pasang mata, entah itu wisudawan/wati, orang tua wisudawan/wati, atau bahkan keluarga wisudawan/wati tertuju padanya, laki-laki itu benar-benar terlihat tampan ditambah dengan raut bahagianya. Beberapa adik kelas bahkan terlihat berkasak kusuk melihat penampilan Riza pagi itu. Namun seperti biasa, Riza tidak terlalu peduli dengan penilaian orang padanya. Ia hanya penasaran bagaimana Nisa akan mengomentari penampilannya.
Riza mengantarkan papa dan mamanya menuju tempat duduk mereka sebelum kemudian dia bergabung dengan barisan wisudawan. Riza tak langsung menuju barisan fakultas ekonomi, melainkan singgah sejenak di barisan fakultas teknik mencari keberadaan Nisa. Entah kenapa perasaannya lagi-lagi tidak enak sejak dirinya masih di jalan tadi dan Riza teringat Nisa.
"Nisa, kamu dimana? Aku sedang di barisan fakultas teknik, nyari-nyari kamu tapi ga ketemu".
Tak ada balasan dari gadis itu bahkan dibaca pun tidak.
"Apa kamu masih di jalan dan sibuk dengan keluarga kamu, Nis?" batin Riza kemudian memutuskan kembali ke barisannya. Riza baru bergabung dengan rekan-rekannya di fakultas ekonomi ketika ia melihat Ana baru saja datang dan masuk ke barisan. Riza pun langsung mendekati gadis itu karena Riza sempat melihat foto profil Ana, foto Ana berdua dengan Nisa dengan busana kebaya mereka.
"Na, apa kamu lihat Nisa?" tanya Riza membuat Ana sedikit kaget menoleh ke laki-laki itu.
"Tadi aku cari Nisa di barisan fakultas teknik tapi nggak ketemu. Aku WA dia, terkirim tapi nggak dibaca," sambung Riza.
Ana teringat janjinya kepada Nisa, membuat mata gadis itu tiba-tiba berkaca-kaca mengingat yang terjadi pada Nisa.
"Na... kamu kenapa diam dan malah berkaca-kaca gitu?" tanya Riza dengan nada khawatir, hatinya tiba-tiba merasa resah dan tidak enak. Ana buru-buru tersenyum ke Riza, tak ingin membuat laki-laki itu curiga.
"Nisa... tadi Nisa jalan duluan sama keluarganya. Mungkin dia belum datang aja, Riz... masih di jalan. Tahu sendiri gimana macetnya jalanan seputar kampus kalau wisuda gini. Kalau soal pesan WA kamu yang ga dibaca...., mungkin aja Nisa ga megang HP-nya Riz... tahu sendiri ga ada saku di baju toga dan kebaya," jelas Ana berusaha berbicara senormal mungkin.
Riza balas tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
"Iya juga sih, mungkin Nisa masih di jalan ya. Setahu kamu sampai kalian foto berdua tadi, dia sehat-sehat aja kan, Na?"
Ana lagi-lagi tersenyum. Gadis itu bingung bagaimana harus menjawab Riza tanpa berbohong.
"Lah... menurut kamu kalau lihat foto aku sama Nisa tadi, Nisa baik-baik aja apa nggak?" jawab Ana mengembalikan pertanyaan Riza ke laki-laki itu.
Riza meringis dan tersenyum simpul. "Di foto itu kalian berdua cantik banget sih, Nisa juga tersenyum tulus seperti biasa".
Ana balas tersenyum lebar, tak menjawab apa-apa, tukang rias mereka memang berhasil menyamarkan wajah pucat Nisa saat itu. Setelah berterima kasih ke Ana, Riza pun bergegas bergabung dengan barisan rekan-rekan cowoknya.
Prosesi wisuda berjalan sakral seperti biasa, Riza menjalaninya dengan penuh suka cita dan rasa lega serta bangga. Ia membayangkan ekspresi bangga dan bahagia di raut kedua orang tuanya saat itu. Riza juga tak sabar ingin berfoto bersama Nisa dan keluarganya sekaligus berkenalan dengan ayah Nisa.
Acara wisuda baru saja selesai termasuk foto-foto bersama rekan sejurusannya ketika Riza hendak keluar barisan menjemput kedua orang tuanya dan membawa mereka ke pintu keluar A, ke tempat ia janjian bertemu dengan Nisa dan ayahnya. Riza pun kembali menulis pesan ke gadis itu. "Nis, aku mau jemput papa dan mama aku buat ketemu kamu dan ayah kamu di dekat pintu A. Kamu jangan kemana-mana ya :)".
Riza memandangi layar percakapannya dengan Nisa itu. Ia heran karena lagi-lagi pesan itu terkirim tapi tak juga dibaca Nisa. Bahkan pesan sebelumnya pun sama, belum juga dibaca gadis itu.
Riza baru berjalan beberapa langkah ketika Ana memanggilnya.
"Ada apa, Na?"
Ana terdiam, berusaha memilih kalimat yang pas untuk Riza. Wajah Ana terlihat serius kali ini.
"Riz.... , sebenernya Nisa ga jadi ikut wisuda hari ini, tadi sakit matanya kambuh dan dia jatuh pingsan di depan kosan ketika mau berangkat menuju tempat wisuda. Keluarga Nisa dan penjaga kos langsung membawa Nisa ke rumah sakit," jelas Ana hati-hati dan pelan-pelan berusaha menjelaskan ke Riza.
Laki-laki itu terlihat kaget dan tertegun mendengarnya. Bahkan bungkusan berwarna pink di tangannya itu sempat terlepas dari genggamannya.
"Maaf kalau aku baru memberitahu kamu sekarang, Riz. Sebelum pingsan, seolah udah merasa, Nisa sempat meminta aku berjanji untuk merahasiakan sakitnya dari kamu kalau sampai benar-benar terjadi ia akhirnya tidak bisa ikut wisuda, Riz. Setidaknya sampai kamu selesai menjalani prosesi wisuda katanya," sambung Ana kemudian terdiam sejenak, air mata gadis itu mengalir di sudut matanya mengingat obrolannya dengan Nisa pagi tadi.
Sementara itu, Riza masih tetap diam di hadapannya, ia berkali-kali men-scroll, melihati layar percakapannya dengan Nisa.
Mata laki-laki itu terlihat sedikit berkaca-kaca diantara rasa terkejutnya.
"Riza..." panggil Ana ketika laki-laki itu hanya diam mematung di depannya.
"Nisa... Nisa... Nisa dirawat dimana, Na? Apa dia sudah sadar? Gimana kondisi Nisa sekarang, Na?" Riza pun memberondong Ana dengan beberapa pertanyaan dengan suara lirihnya.
"Aku barusan telpon kakak Nisa, Kak Nina, katanya Nisa masih belum juga sadar dari pingsannya, Riz". Ana pun menyerahkan secarik kertas bertuliskan alamat kamar tempat Nisa dirawat ke Riza.
"Makasih, Na. Aku harus pergi menemui Nisa sekarang," ucap Riza lagi terdengar serak meski ia berusaha memaksa untuk tersenyum kepada Ana.
Waktu menunjukkan pukul 12.07 saat Riza tetap terdiam di dalam mobilnya ditengah perjalanannya menuju rumah sakit. Terlihat papa dan mamanya beberapa kali menatap prihatin kearah putra mereka itu. Wajah Riza terlihat sedih dan khawatir sejak dia memberitahu kondisi Nisa kepada keduanya.
Sejak naik mobil, tak sekalipun Riza bicara, ia hanya berkali-kali melihati handphone-nya dan mengusap bungkusan pink di pangkuannya.
"Ma, Nisa kira-kira Nisa bakal suka nggak dengan hadiah dari Riza ini?" tanyanya beberapa hari lalu ketika ia minta ditemani Mamanya pergi ke sebuah toko baju muslimah. Riza sengaja ingin membelikan baju buat dua perempuan istimewanya, mamanya dan juga Nisa, dengan menggunakan uang hasil jerih payahnya bekerja beberapa bulan terakhir.
"Bagus, Riz... Nisa pasti akan terlihat makin calm dan elegan memakainya. Mama yakin dia bakal langsung tersenyum senang saat melihatnya".
Riza pun tersenyum lebar sambil mengangguk-anggukan kepalanya setuju.
Riza menarik nafasnya dalam-dalam, ia buka foto profil Ana kemudian men-screenshot-nya. Terlihat disana Nisa tersenyum bahagia sebelum serangan glaukoma itu mengambil senyuman indah Nisa akan wisuda. Dan sekarang, glaukoma Nisa itu pun merenggut senyuman Riza, menunda semua rencana yang sudah dipersiapkan laki-laki itu untuk Nisa.
"Kamu terlihat sangat cantik hari ini, Nisa," ucap Riza di dalam hatinya sembari berkaca-kaca menatap foto gadis itu lama ketika Riza merasakan usapan lembut di kepalanya. Mamanya terlihat tersenyum lembut kepadanya di sampingnya.
"Nisa insyaa Allah akan baik-baik saja, Sayang," ucap Mama Riza tersenyum lembut berusaha menenangkan Riza.
Riza pun tersenyum lebih lebar menganggukkan kepalanya pelan. Perlahan, Riza menyandarkan kepalanya dibahu Mamanya, mencoba menemukan rasa nyaman diantara semua kegelisahannya saat itu. "Semua akan baik-baik saja, Nak," ujar Mamanya lagi mengecup puncak kepalanya lama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar