Minggu, 03 April 2016

YOU ARE THE ONE : "Maukah Kamu Menikah Denganku?"


YOU ARE THE ONE
"Maukah Kamu Menikah Denganku?"

Rizky sebagai Riza
Anisa sebagai Nisa

Dear : Riza (laki-laki luar biasa).
“Melihat dan menemanimu adalah mimpi sepanjang usiaku. Aku ingin mencintai dan membahagiakanmu hingga akhir waktu” – Nisa.

Dear : Nisa (my best friend forever and ever).
“Mimpimu, membuatku ingin mewujudkannya. Takutmu, membuatku ingin meniadakannya. Senyummu, membuatku ingin selalu menghadirkannya. Hadirmu, membuatku ingin selalu menghabiskan hidupku bersamanya” – Riza.

PART 1 AKU MENYUKAIMU, TAPI....

Hari itu adalah hari yang sangat bahagia bagi Nisa, seorang perempuan sederhana yang mencintai dengan sederhana dan dicintai dalam sederhana oleh Riza. Riza..., laki-laki itu terlihat gagah dalam balutan kemeja putih dan jas hitamnya, suaranya lantang dan penuh keyakinan saat ayah Nisa menyerahkan putri bungsunya itu kepadanya melalui ijab kabul yang diucapkan saat itu. Hatinya merasa lega dan dipenuhi rasa syukur karena akhirnya ia menjadi teman hidup sekaligus pelindung sah Nisa, perempuan cantik yang sekarang duduk di sebelahnya, setelah ribuan kali ia berusaha meminta Nisa menjadi pasangan hidupnya. Nisa, perempuan cantik dalam balutan gaun putih itu terlihat terharu dan bahagia, sesekali air mata jatuh dari mata cantiknya itu. Kini ia bukan lagi seorang gadis yang berada dalam tanggung jawab ayah tercintanya lagi, kini ia makmum bagi laki-laki tampan pemberani yang duduk di sebelahnya dan terlihat tak kalah bahagia. Laki-laki itu... laki-laki yang mencintainya dengan caranya yang luar biasa, laki-laki yang seharusnya layak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik darinya, tapi tidak menyerah meyakinkan dia sebagai teman hidupnya.

Beberapa bulan sebelumnya...

Sore itu, dua orang sahabat, laki-laki dan perempuan, terlihat sedang berjalan beriringan selepas kelas masing-masing usai menuju sebuah ruang terbuka hijau yang ada di kampus mereka. Sesekali canda tawa terdengar diantara keduanya yang hampir satu bulan tak sempat bertemu karena kesibukan kuliah mereka. Perempuan itu bernama Nisa, seorang mahasiswi jurusan arsitektur yang sedang menjalani dua semester akhirnya yang tersisa dan baru menyelesaikan tugas praktiknya sedangkan laki-laki itu bernama Riza, seorang mahasiswa jurusan ekonomi pembangunan di semester yang sama yang disibukkan dengan bertumpuk-tumpuk tugasnya. Mereka sengaja mengatur waktu untuk bisa bertemu hari itu.
"Ini buat kamu, Riz," ujar Nisa tersenyum sambil menyerahkan sebuah tas kertas ke Riza.
Riza terdiam memandang Nisa dengan ekspresi bertanya-tanya menunggu penjelasan lebih lanjut dari gadis itu.
"Bulan kemarin kamu berulang tahun kan, Riz. Anggap aja ini kado kecil dari aku," sambung Nisa sambil tersenyum lebih lebar, "semoga selalu ditunjukkan yang terbaik, Riz...., maaf kalau terlambat ya, he he".
Riza balas tersenyum lebar sambil mengucapkan terima kasih dan bergegas melihat kado kecil dari Nisa itu. Ternyata sebuah tempat pensil dari bahan tembikar.
"Kebetulan di tempat praktik kemarin, kita ada diberi waktu main sehari di tempat kerajinan tembikar di daerah sana, jadi sekalian aja aku buatin tempat pensil buat kamu. Tapi maaf kalau hasilnya seadanya ya, " sambung Nisa tertawa kecil membuat Riza ikut tertawa.
"Bagus kok, Nis. Makasih sudah membuatkan ini buat aku ya," ujar Riza dengan wajah riang sambil mengamati lebih seksama tempat pensil buatan tangan Nisa itu.
"Be a good person,
 always be brave and honest " .
(ind: “Menjadi orang baik, selalu berani dan jujur”.)
Riza membaca tulisan yang terukir di tempat pensil itu kemudian tersenyum sendiri tetap memandangi tulisan Nisa itu, membuat Nisa ikut tersenyum melihat Riza. Ia merasa lega karena Riza menyukai kado sederhana darinya itu.
"Be brave and honest, Riz...," ujar Riza dalam hati ke dirinya sendiri. Riza melihat kearah Nisa dan balas tersenyum, lalu melirik ke sebuah gulungan kertas yang dipegang Nisa.
"Ituuuu.... kado buat aku juga bukan?" tanya Riza tertawa kecil menggoda Nisa. Nisa tertawa sambil menggelengkan kepalanya membuat Riza sejenak tersenyum melihat tingkah Nisa yang terlihat lucu dimatanya.
"Hmmm itu sketsa gambar apa memangnya, Nis?" tanya Riza penasaran menunjuk ke gulungan kertas yang dipegang Nisa.
Gadis bernama Nisa itu pun tersenyum lebar, "Ini.... mimpi aku, Riz".
"Mimpi kamu? Mimpi apa, kok kamu tidak pernah cerita?" tanya Riza lagi makin penasaran.
Nisa tersenyum makin lebar. "Aku punya mimpi, suatu hari nanti, aku ingin membuat taman kecil yang indah yang bisa dinikmati oleh mereka yang kehilangan penglihatan," ujar Nisa bersemangat.
Riza tersenyum mendengarnya, ia tersentuh dengan mimpi Nisa itu. Ia berusaha merebut gulungan gambar itu dari tangan Nisa dengan setengah bercanda membuat Nisa kemudian memutuskan mendekap erat gulungan kertas itu, sejenak menjulurkan lidahnya gantian menggoda Riza.
"Masih rahasia, Riz, masih belum selesai soalnya. Sabar ya, nanti kalau gambarnya sudah jadi, aku pasti tunjukkin ke kamu," sambung Nisa sambil tersenyum riang. Riza menganggukkan kepalanya bersemangat, terlebih melihat senyuman lepas Nisa yang terasa tulus.
"Ya udah, nanti biar aku yang mengurus terkait pembiayaannya, percayakan padaku sebagai jebolan fakultas ekonomi. Oke!" ujar Riza tertawa lebar meyakinkan Nisa, dibalas Nisa dengan anggukan kepalanya mantab sambil mengacungkan jempolnya dan ikut tertawa lebar.
Riza tiba-tiba terdiam, sejenak ia memandangi Nisa yang wajah penuh senyuman dan hadirnya, ternyata Riza rindukan beberapa minggu terakhir ini.
"Apa kamu kangen ketemu sama aku, Nis?"
Nisa setengah terkejut mendengarnya, meski mereka bersahabat, tapi jauh di hati Nisa, ada rasa yang ia simpan rapi buat sahabatnya itu. Nisa menyukai sahabatnya itu sejak awal mereka bersahabat, tapi ia memilih memperjuangkan perasaannya sebagai sahabat Riza. Meskipun demikian, Nisa selalu memegang peluang itu, bahwa suatu hari Riza akan merasakan perasaan yang sama terhadapnya, Riza akan menyukainya, sebelum akhirnya Nisa melepaskan keinginan itu, berhenti mengharapkan hal itu setelah sebuah kenyataan yang diketahuinya beberapa minggu yang lalu.
"Kamu habis ditolak cewek apa.... lagi kangen sama gebetan atau cewek baru kamu ya, Riz...," jawab Nisa tersenyum ringan, seolah menggoda Riza. Jauh di hatinya, Nisa berusaha meredam rasa yang masih belum bisa ia lupakan tentang sahabatnya itu meski ia berusaha sekuat tenaga menetralkannya.
Riza menatap Nisa sejenak dan menggelengkan kepalanya beberapa kali.
"Aku serius, aku tanya apa kamu kangen sama aku, Nisa," ulang Riza.
Nisa tersenyum lebih lebar, "Aku juga serius, Riz. Pertanyaan kamu benar-benar aneh. Are you okay, Riz? Apa ada sesuatu yang terjadi selama aku pergi?"
"Memangnya aneh seorang sahabat merindukan sahabatnya, Nis?" ujar Riza balik bertanya membuat Nisa terdiam memandang Riza. Nisa pun tersenyum, "Enggak aneh kok, Riz".
"Jadi kamu kangen nggak sama aku?" ulang Riza sembari tersenyum.
Nisa menatap Riza sejenak, kemudian menganggukkan kepalanya sambil tersenyum malu, membuat Riza tertawa melihatnya.
"Nah begitu dong, kan aku jadi merasa lega dan sangaaat senang sekarang," ujar Riza, "itu artinya bukan aku aja yang kangen sama kamu, tapi kamu juga sebaliknya". Riza terlihat riang beberapa saat setelahnya membuat Nisa merasa heran dengan sikap sahabatnya itu meski di satu sisi hatinya, Nisa merasa senang saat tahu Riza juga merindukan dirinya. Andai hari ini adalah beberapa bulan sebelumnya, mungkin hati Nisa akan melambung sangat-sangat tinggi saking senangnya karena kalimat Riza itu. Sayangnya kalimat itu baru Nisa dengar hari ini, saat Nisa sudah berhenti berharap tentang perasaannya ke Riza.
Riza menghentikan langkahnya, menatap Nisa dengan tajam membuat Nisa salah tingkah meski ia tetap memutuskan untuk tetap melihat kearah sahabatnya itu. Riza terlihat ingin mengucapkan sesuatu, tapi seolah masih mengumpulkan keberanian untuk mengatakannya.
“Hmmmm,... aku baru menyadari satu hal Nisa, aku menyukai kamu, Nis. I love you Nisa,” ucap Riza dengan nada cepat dan yakin, membuat Nisa yang mendengarnya pun tertegun. “Apa aku sedang bermimpi? Atau Riza sedang berniat mengerjai sahabatnya ini?” tanya Nisa dalam hati masih menatap Riza dengan heran. Sementara itu, Riza terlihat sedang menunggu sebuah jawaban dari mulut Nisa.
“Kamu... kamu... lagi stres karena kebanyakan tugas atau salah makan ya Riz? Kamu aneh banget hari ini...,” jawab Nisa sambil tertawa kecil dan memukulkan kertas sketsanya itu pelan ke bahu Riza.
Riza tersenyum, tetap menatap Nisa tajam sambil menggelengkan kepalanya dengan yakin.
“Aku serius, Nisa. Kamu sendiri yang bilang bahwa aku harus berani dan jujur, bukan? Aku menyukai kamu, Nisa. Bukan sekedar sebagai sahabat, tapi rasa suka seorang laki-laki ke perempuan,” sambung Riza pelan tapi dengan nada tegas membuat Nisa semakin terpaku di tempatnya. “Riza menyukai aku? Perasaan aku ke Riza akhirnya terbalas?” ujar Nisa lagi di dalam hatinya. Seharusnya Nisa bahagia mendengarnya dan memang terselip bahagia di hatinya saat itu, dua tahun sejak rasa itu ada di hatinya, Riza akhirnya memiliki rasa yang sama dengannya, tapi sekarang Nisa  tak lagi mengharapkan Riza membalas perasaannya. Dia hanya ingin menyimpan perasaannya untuk Riza itu sendiri.  
“Apa kamu menyukai aku juga, Nisa?” tanya Riza menyadarkan Nisa dari lamunannya. Nisa kembali menatap Riza. Untuk sejenak Nisa hanya tersenyum tak tahu harus menjawab apa.
“Apa kamu menyukai aku juga, Nis?” ulang Riza membuat Nisa kemudian tertawa lebar ke Riza. “Kamu pasti sedang bercanda. Iya kan, Riz...”. Nisa kembali memasang wajah riangnya, berjalan santai meninggalkan Riza sambil menoleh kearah langit dan kanan kirinya seolah pertanyaan itu hanya pertanyaan yang numpang lewat dan tidak serius.
“Aku serius dan tidak sedang bercanda, Nisa,” ucap Riza tegas dan agak lantang, sambil berdiri beberapa meter dihadapan Nisa dan menghentikan langkah Nisa. Lagi-lagi Nisa hanya tersenyum tanpa mengucapkan satu kata pun.
“Aku akan ulangi pernyataan aku tadi satu kali lagi dan aku harap kamu mau menjawabnya dengan jujur, Nis. Kalau kamu tetap diam dan senyum-senyum ga jelas seperti ini, aku anggap kamu tidak menerima perasaan aku. Dan aku janji nggak akan pernah mengulang mengucapkannya lagi setelah ini,” sambung Riza serius, menatap Nisa sejenak kemudian balik membelakangi Nisa. Lagi-lagi Nisa hanya tersenyum melihat tingkah Riza saat itu, Nisa bisa melihat ada rasa kesal dan sedikit kecewa yang bercampur dengan harapan di wajah sahabatnya itu karena sikapnya. Namun, Nisa juga tidak tahu harus menjawab apa, meski hatinya ingin menjawab iya buat Riza, tapi Nisa tetap tidak bisa menerima perasaan Riza. Nisa bingung harus berkata apa.
Nisa tetap memandangi Riza yang sedang membelakanginya, ia seolah ingin mengamati dengan seksama setiap gerak gerik sahabatnya  itu yang perlahan mulai terlihat kabur di pandangan Nisa yang masih tetap dengan senyumnya.
“Kalau kamu tetap tidak menjawab kali ini, aku janji aku bakal melupakan perasaan aku ke kamu yang aneh ini dan ga akan pernah mengungkitnya lagi,” ujar Riza lagi, “aku... suka sama kamu, lebih dari sekedar sahabat, Nisa. Apa kamu juga punya perasaan yang sama?”
Kalimat Riza itu terdengar indah di telinga Nisa dan untuk kesekian kali mampu menyentuh hati Nisa. Nisa tersenyum lebih lebar memandangi Riza yang tetap membelakanginya, menungggu jawaban dari mulut Nisa.  Riza terlihat semakin kabur di pandangan Nisa ketika tiba-tiba saja Nisa merasakan seperti ada palu yang memukul kepalanya dengan keras, dan semuanya pun menjadi gelap dalam seketika.

Terdengar bunyi sesuatu terjatuh di tanah, Riza pun bergegas menoleh ke belakang mencari asal suara. Di hadapannya, Nisa terlihat terbaring tak sadarkan diri di tanah dan sketsa gambarnya pun tergeletak tak jauh darinya.
“Nisaaa...,” ujar Riza bergegas membangunkan sahabatnya itu. “Nis... kamu kenapa?” ujarnya panik sambil berulang kali menepuk pipi Nisa yang tetap terpejam meski Riza berulangkali memanggil namanya. “Nisa..., bangun Nis... sadar Nis... Kamu kenapa, Nisa?”
Riza pun meminta bantuan mahasiswa yang ada di sekitarnya mencarikan taksi untuknya membawa Nisa ke rumah sakit. 10 menit kemudian, Riza sudah berada di dalam taksi menuju rumah sakit bersama Nisa yang tak kunjung membuka matanya.

PART 2 : GLAUKOMA SUDUT TERTUTUP VS 'MAUKAH KAMU MENIKAH DENGANKU?'

Dua jam berlalu, terlihat Nisa sedang terbaring di sebuah ruangan di rumah sakit dan mulai membuka matanya.
“Kamu sudah sadar Nis? Mana yang sakit, Nisa?”
Pandangan Nisa masih sangat kabur, ia tidak bisa melihat jelas laki-laki yang ada di hadapannya dan bertanya padanya dengan nada khawatir itu. Namun dari suaranya, Nisa sangat mengenali suara itu, suara Riza.
“Aku dimana, Riz?” tanya Nisa pelan, kepala dan matanya masih terasa sakit.
“Kamu di rumah sakit Nis. Tadi kamu tiba-tiba pingsan. Mana yang sakit, Nis?” tanya Riza lagi.
Nisa tersenyum, berusaha menenangkan Riza yang terdengar mengkhawatirkannya itu. “Aku gapapa, Riz. Oh iya, sketsa aku dimana ya, Riz?”
Samar di pandangan Nisa, Riza terlihat berusaha tersenyum tipis, “Gapapa gimana, kamu pingsan cukup lama, Nisa... . Sketsa kamu aman kok, Nis. Ini...” . Riza mengambilkan gulungan sketsa milik Nisa dan memperlihatkannya pada Nisa. Nisa mengambil gulungan sketsa miliknya itu dan mendekapnya sambil tersenyum lega.
Riza tersenyum melihatnya meski rasa khawatir itu lebih terlihat jelas di wajahnya.
“Aku panggilkan dokter buat memeriksa kamu ya, Nis...”. Lagi-lagi Nisa tersenyum lebar dan mengangguk pelan.
Sebelas menit kemudian terlihat seorang dokter masuk bersama Riza. Sebenarnya Nisa hanya bisa melihat dengan samar kedua orang itu, tapi dari pakaiannya yang putih dan benda yang terlihat seperti stetoskop di leher orang tersebut, Nisa bisa menduga bahwa itu pastinya dokter. Sejak sadar dari pingsannya, pandangan Nisa belum bisa pulih seperti biasa, semuanya terlihat kabur baginya.
“Dari pemeriksaan standar, baik itu tensi, suhu, dan denyut jantung, semuanya normal. Oleh karena itu, mungkin perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui kondisi Mbak Nisa,” ujar dokter berusaha menjelaskan. “Kalau boleh saya tahu, apa yang Mbak Nisa rasakan sebelum pingsan dan sekarang? Bagian mana yang sakit?” tanya dokter lagi.
Nisa terdiam sejenak sambil berusaha tersenyum kepada dokter dan juga Riza yang ada di sebelah dokter. Nisa balas menatap Riza yang sedang menatapnya itu, Nisa ragu apakah ia harus menceritakan penyakitnya di hadapan Riza. Namun, Nisa juga merasa tidak enak meminta Riza keluar saat itu.
“Sebenarnya... saya mengalami penyakit glaukoma sudut tertutup, Dokter,” ujar Nisa pelan.
“Glaukoma?” seru Riza pelan tetap memandangi Nisa, seolah meminta penjelasan yang lebih banyak tentang itu.
“Apa Mbak Nisa tahu resiko terburuknya?” tanya dokter.
Nisa memandang kearah Riza yang menunggu penjelasan sejenak, kemudian mengangguk pelan.
“Apa Mbak Nisa sudah rutin melakukan pengobatan?” lanjut dokter lagi.
“Maaf dokter, memang apa resiko terburuknya?” sela Riza terlihat penasaran, sejenak dia melihat ke Nisa seolah meminta penjelasan dari gadis itu.
“Penderita glaukoma sudut tertutup bisa sewaktu-waktu mengalami kebutaan selamanya meski sudah menjalani pengobatan. Di beberapa kasus, operasi menjadi jalan yang paling aman untuk mencegah kemungkinan itu karena kita tidak pernah tahu kapan sakit yang menyerang itu bisa menghilangkan penglihatan penderitanya. Apa Mbak Nisa sering mengalami rasa sakit seperti sekarang, sampai Mbak Nisa pingsan?”
Riza terlihat diam mematung mendengarnya. Perasaannya  campur aduk mendengarnya. Kembali ia melihat ke Nisa lama. Nisa tersenyum lebar kepada Riza.
“Sejak pertama kali serangan sakit itu saya rasakan, ini baru kali kedua saya pingsan. Saya sudah melakukan pengobatan sejak beberapa minggu yang lalu, Dok,” jawab Nisa. “Kamu tenang aja, aku baik-baik saja, Riza,” sambungnya sambil tersenyum lebih lebar ke Riza yang masih tetap diam menatapnya diantara rasa terkejutnya, seolah Nisa  ingin menenangkan laki-laki itu.
Dokter pun kemudian mengarahkan Nisa untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut di bagian yang menangani penyakit mata. Dan Riza tetap saja terdiam, menyiapkan kursi roda buat diduduki Nisa dan bergegas menemani Nisa menuju bagian penyakit mata sesuai petunjuk dokter. Pandangan Nisa masih setengah kabur saat itu, meski sakit di matanya sudah jauh lebih berkurang. Nisa justru mengkhawatirkan Riza yang masih tetap setia dalam diamnya.
“Riz, kenapa kamu tiba-tiba jadi diam? Kamu marah?” ujar Nisa berusaha membuyarkan keheningan diantara keduanya. Hening, tak ada jawaban dari Riza yang terus mendorong kursi roda Nisa pelan.
“Maaf ya, Riz...,” sambung Nisa.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan Nis. Kamu tidak salah apa-apa. Aku cuma sedang tidak ingin bicara saja, seperti halnya kamu yang diam dan tidak menceritakan apa-apa tentang penyakit kamu ke aku,” jawab Riza pelan dan datar,  membuat Nisa merasa bersalah. Nisa tahu, ada rasa kecewa bercampur sedih dan kaget dalam nada bicara Riza itu.
Nisa sengaja tidak bercerita ke Riza tentang penyakitnya karena dia tidak ingin melihat Riza mengkhawatirkannya. Dia hanya ingin tetap berbagi senyum dan tawa bersama laki-laki yang istimewa di hatinya itu. Siapa yang menyangka bahwa serangan glaukoma itu justru terjadi tiba-tiba ketika Nisa sedang bersama Riza sore itu.
Akhirnya mereka sampai ke bagian penyakit mata dan Riza menemani Nisa masuk ke ruang pemeriksaan mata serta dengan aktifnya meminta penjelasan ke dokter specialis mata tersebut terkait penyakit Nisa. Setelah melihat kondisi mata Nisa, dokter menyarankan gadis itu menjalani operasi mata untuk mencegah ancaman kebutaan yang bisa datang sewaktu-waktu jika Nisa mengalami serangan serupa.
Nisa hanya menggelengkan kepalanya pelan sambil tetap tersenyum kepada dokter di hadapannya itu. “Saya memilih pengobatan biasa saja, Dok. Saya tidak mau dioperasi,” ujar Nisa lirih. Ada semacam trauma di nada bicara Nisa ketika kata operasi itu diucapkan. Sementara itu, Riza masih betah dalam diamnya kepada Nisa, hanya menatap gadis itu lama.

Setelah dokter memberikan resep obat kepada Nisa, Nisa dan Riza pun keluar dari ruangan itu masih tanpa satu kata pun ketika beberapa saat kemudian, Riza berhenti mendorong kursi roda yang diduduki Nisa dan Riza duduk di salah satu bangku tunggu yang ada di lorong rumah sakit itu dan menghadapkan Nisa dengan dirinya.
Sejenak Nisa balas menatap Riza yang masih terlihat agak kabur di pandangannya, dengan raut setengah bertanya kemudian lagi-lagi Nisa tersenyum lebar ke Riza yang masih menatapnya dengan serius. Entah kenapa Nisa tiba-tiba merindukan sebentuk senyum di bibir Riza yang saat itu tiba-tiba terasa langka dan pergi jauh, entah kemana.
Nisa kemudian tertawa memamerkan giginya sambil tangannya membuat bentuk senyuman ke Riza, berusaha membujuk Riza buat tersenyum lagi dan menghentikan gerakan diam seribu bahasanya ke dirinya. Dan... berhasil, Riza balas memamerkan giginya sambil tangannya ikutan membentuk simbol senyuman lalu tersenyum lembut kepada Nisa. Tawa pun akhirnya pecah diantara keduanya sebelum kemudian Riza kembali menatap Nisa dalam diam.
“Kenapa lagi? Jangan-jangan kamu marah gara-gara kejadian di kampus tadi, gara-gara aku diam dan senyum-senyum tidak jelas ya Riz?”
Riza menggelengkan kepalanya pelan. Saat itu, tiba-tiba Riza menyadari makna dibalik diam Nisa padanya tadi. “Apa kamu diam karena penyakit kamu, Nisa? Apa kamu diam karena tidak ingin membuat aku lebih khawatir?” ujar Riza dalam hati, tetap memandang Nisa yang terlihat sedang menunggu respon laki-laki yang berhadapan dengannya itu.
“Rizaaa...”. Panggilan Nisa sambil tersenyum lebar itu menyadarkan Riza dari monolog hatinya.
Riza kembali menggelengkan kepalanya sambil balas tersenyum lebar. “Seperti yang aku katakan tadi di kampus, aku tidak akan mengulang mengatakannya lagi, Nisa”.
Nisa balas tersenyum tipis, “Artinya kita bisa bersahabat lagi seperti biasa kan, Riz?”
Riza terdiam dan balas tersenyum tipis. "Maukah kamu menikah denganku, Nisa?"
Kini giliran Nisa yang mematung menatap Riza antara takjub dan kagetnya. Hari ini kalimat-kalimat Riza benar-benar membuat Nisa speechless. Setelah sebelumnya Riza mengagetkannya dengan pernyataan sukanya, sekarang Riza malah memintanya menjadi istrinya.
"Ini nyata atau aku sedang terlalu berhayal?" ujar Nisa dalam hati sambil bergegas mencubit tangannya sendiri dan ternyata sakit.
"Nisa... kamu dengar apa yang aku bilang barusan?" lanjut Riza.
Nisa masih menatap Riza yang terlihat sedang tersenyum dengan raut seriusnya. Nisa menganggukkan kepalanya ragu.
"Apa kamu mau menikah denganku, Nisa?" tanya Riza lagi dengan lembut, tapi tetap serius.
Nisa masih terdiam, hanya balas tersenyum lembut.
"Apa kamu baik-baik saja, Riza? Kalimat kamu benar-benar tidak biasa hari ini," ujar Nisa sambil menempelkan tangannya ke kening Riza sejenak, jangan-jangan Riza demam sehingga kalimatnya menjadi aneh seperti itu.
Riza tersenyum lebih lebar, "Aku baik-baik saja, Nis. Dan aku 100 persen sadar dengan semua kalimat aku ke kamu hari ini. Aku ingin menjadi teman hidup kamu, Nisa. Pertanyaannya, apa kamu mau menjadi teman hidup aku?"
Nisa memandangi Riza, tetap dengan senyumnya. "Aku ingin menjadi teman hidup kamu Riza, tapi aku... akuuu..tidak mau menjadi teman hidup kamu. Kamu layak mendapatkan seseorang perempuan yang lebih baik, Riz. Seseorang yang bisa membahagiakanmu dengan utuh, bukan orang yang mungkin mengalami kebutaan permanen seperti aku," ujar Nisa sambil tersenyum lebih lebar, "lagipula bukannya aku tidak masuk sebagai kriteria perempuan yang kamu sukai kalau melihat mantan-mantan kamu sebelumnya, Riz?"
Riza tersenyum mendengarnya. "Kamu memang tidak masuk kriteria itu, Nis, tapi cuma kamu yang membuatku ingin dan yakin untuk menjadikanmu sebagai teman hidup aku”. Riza terdiam sejenak. "Mungkin ada banyak perempuan yang lebih baik dari kamu Nisa, tapi kebahagiaan aku ga akan utuh tanpa kamu, Nis. Lagipula, seperti yang dokter bilang tadi, kamu mungkin sembuh Nis melalui operasi".
Kalimat Riza itu sukses membuat Nisa terharu dan berkaca-kaca, Nisa sangat tersentuh mendengarnya. Nisa tidak menyangka sahabatnya itu menjelma menjadi laki-laki yang super romantis secara tiba-tiba saat itu.
“Aku takut operasi, Riz.... aku masih trauma. Aku kehilangan Mama dan adik bungsuku di ruang operasi, Riza. Sejak keluar dari ruang operasi waktu itu, aku tidak bisa lagi melihat senyum Mamaku," jawab Nisa lirih sambil menatap Riza. Air matanya berdesakan ingin sekali keluar saat itu juga, tapi dia tidak ingin menangis di depan Riza saat itu. Meskipun demikian ada saja satu dua kali air matanya tak bisa ia cegah untuk keluar dan Nisa dengan cepat menghapusnya. Riza balas menatap Nisa dengan lembut, seolah ia ingin menenangkan Nisa. "Aku mengerti ketakutan kamu Nisa, aku janji aku bakal menemani kamu selama di ruang operasi biar kamu tidak terlalu takut. Izinkan aku menikah dengan kamu, ya...," ujar Riza sambil tersenyum lebih lebar, "apa yang terjadi sama Mama dan adik bungsu kamu itu sudah ditakdirkan Allah, Nisa, tapi bukan berarti kamu akan mengalami hal yang sama".
Nisa terdiam mendengarkan ucapan Riza itu. Nisa tahu bahwa apa yang terjadi dengan Mama dan adiknya itu adalah takdir, tapi Nisa tetap tidak bisa menghilangkan trauma yang dirasakannya itu, ketika tubuh Mama dan adiknya terbujur kaku sekeluarnya dari ruang operasi beberapa tahun lalu. Saat itu, Nisa hanya bisa menangis dipelukan kakaknya dan kehilangan itu masih tetap terasa bagi Nisa hingga sekarang tiap kali ia mengingatnya.
Tiba-tiba saja, Nisa merasakan ketakutan baru mengingat kalimat Riza. Bagaimana kalau seandainya dirinya keluar dari ruang operasi seperti Mamanya. Bagaimana dengan Riza. Tiba-tiba Nisa disergap ketakutan membayangkan Riza berada di posisinya saat itu, kehilangan seseorang yang disayangi. "Aku tidak ingin Riza mengalami seperti yang aku alami dulu," ujar Nisa dalam hati.
"Nisaaaa...," panggil Riza menyadarkan Nisa dari lamunannya.
Nisa buru-buru tersenyum lebih lebar, sejenak Nisa memandangi laki-laki itu yang terlihat tulus kepadanya, "Maafkan aku Riza, tapi aku lebih memilih pengobatan selain operasi saja. Aku tidak bisa mengalahkan ketakutan karena trauma itu, Riz. Dan maaf, aku tidak bisa menikah dengan kamu, Riza. Aku lebih nyaman kita tetap bersahabat seperti ini. Lagi pula, kalau kita menikah sekarang pun, kita masih punya tanggung jawab ke orang tua kita menyelesaikan kuliah kita dengan baik dan kita juga sama-sama belum kerja. Jadi kalaupun kita menikah, kita hanya akan menjadi beban orang tua kita, dan aku serta kamu pastinya ga mau kan?"
Riza terdiam kemudian tersenyum lagi, "It's okay, Nis kalau kamu masih trauma buat operasi, kita bisa tunggu sampai kamu berani. Dan kalaupun kamu tidak ingin operasi, aku tetap ingin menemani kamu, Nisa. Mau ya menikah sama aku? Aku janji kita akan tetap bisa menyelesaikan tanggung jawab kuliah kita dengan baik dan aku akan bekerja semampu aku untuk menafkahi kamu, Nisa". Wajah Riza terlihat serius dan yakin saat mengucapkan kalimat itu, sementara Nisa sangat tersentuh mendengarnya tapi sekaligus membuat hatinya semakin tidak ingin membuat Riza lebih khawatir tentangnya.
"Maaf, Riza...," ucap Nisa kemudian pelan, dia tetap dengan keputusannya sebelumnya.
“Mungkin kamu perlu waktu buat memikirkannya, Nis. Satu hal yang harus kamu ingat, mulai hari ini setiap hari aku akan meminta kamu untuk menjadi teman hidup aku. Aku akan menunggu sampai kamu menjawab iya, Nisa," ujar Riza sambil menganggukkan kepalanya dan tertawa kecil dengan penuh keyakinan.
"Riza...," hanya nama laki-laki itu yang keluar dari mulut Nisa, selebihnya Nisa hanya bisa diam tetap dengan senyumannya menatap Riza. Nisa tahu tidak mudah membujuk Riza tentang ini, Riza bukan orang yang mudah mengubah keputusannya.
Mereka pun memutuskan kembali menuju kamar tempat Nisa dirawat.

"Riza, aku mau pulang. Mata aku juga sudah mendingan".
"Tapi Nis, Dokter bilang sebaiknya kamu menginap semalam agar kita bisa melihat perkembangan sakit kamu," ujar Riza dengan nada dan raut khawatirnya.
"Aku sudah tidak apa-apa, Riza. Kan aku juga minum obat sesuai resep dokter, Riz. Aku tidak terlalu suka rumah sakit, Riza...," bujuk Nisa dengan tersenyum lebih lebar dan raut wajah setengah memelas.
Akhirnya Riza pun mengangguk setuju, dia tahu Nisa tidak terlalu nyaman berada di rumah sakit terlebih dengan pengalaman sedih yang pernah dialaminya itu. Setelah mengurus administrasi dan menebus obat yang diresepkan dokter sebelumnya, mereka pun akhirnya pulang.

Beberapa saat kemudian, Nisa dan Riza pun berada di dalam taksi menuju tempat kos Nisa. Baik Riza maupun Nisa duduk di kursi belakang taksi. Nisa terlihat mendekap erat gulungan sketsanya dan tas ransel Nisa menjadi pembatas diantara dirinya dan Riza.
"Terima kasih ya Riz buat semuanya. Maaf merepotkan kamu," ujar Nisa memecah hening keduanya.
Riza tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Aku tidak merasa repot, Nisa. Aku sangat peduli dan kamu juga sudah tahu bagaimana perasaan aku ke kamu".
Mereka saling menatap satu sama lain, Nisa membalas senyum Riza.
"Apa ayah kamu tahu kalau kamu sakit, Nis?"
Nisa menggelengkan kepalanya pelan, "Aku tidak ingin membuat Ayah khawatir, Riz. Lagipula serangan glaukoma ini juga jarang-jarang dan tidak parah. Aku yakin bakal baik-baik saja selama aku mengobatinya secara rutin".
Riza hanya diam mendengarnya. Ia tahu, Nisa adalah tipe perempuan yang mandiri dan tidak ingin membuat orang lain mengkhawatirkannya. Nisa kembali memandang ke luar jendela, sambil memeluk lebih erat gulungan sketsa itu di dadanya. "Aku akan mewujudkan mimpi aku sebelum aku mengalami resiko terburuk, buta selamanya. Aku yakin, aku pasti bisa. As long as there is a strong will, there is a way then, insyaa Allah, Nisa (ind: sepanjang ada keinginan kuat, akan ada jalan jika Allah menghendaki, Nisa)," batin Nisa sambil tersenyum optimis kemudian, berusaha menghapus ragu di hatinya.
Sementara itu, Riza yang berada di sebelah Nisa mengamati gerak-gerik gadis itu.
"Apa penyakit ini juga yang menjadi salah satu alasan kamu punya mimpi membuat taman untuk mereka yang kehilangan penglihatan, Nisa?" tanya Riza pelan dan hati-hati. Nisa menoleh kepada Riza dan tersenyum lembut padanya sembari menganggukkan kepalanya pelan.
“Saat dokter bilang kemungkinan terburuk dari penyakitku ini adalah buta selamanya dan glaukoma adalah penyakit mata nomer dua terbanyak yang menyebabkan kebutaan, aku kemudian tertarik mengamati lebih dekat mereka yang tidak bisa melihat. Mereka tidak bisa melihat keindahan, tapi aku tahu mereka bisa merasakannya dengan lebih peka. Kemudian muncul ide, aku menantang diri aku sendiri untuk membuat taman kecil yang indah yang bisa dilihat oleh mereka yang kehilangan penglihatan, bukan dengan mata tapi dengan hati melalui indera peraba salah satunya. Aku ingin mereka bisa melihat keindahan itu sama seperti mereka yang bisa melihat. Ya... bisa jadi suatu saat nanti, aku menjadi bagian dari mereka...," jelas Nisa kemudian tersenyum lebih lebar ke Riza sejenak lalu kembali menoleh kearah luar. Riza hanya menatap Nisa, ia bisa merasakan ketulusan yang berbaur rasa takut dan sedih di kalimat Nisa itu.
"Aku yakin kamu pasti bisa mewujudkan mimpi mulia kamu itu, Nis. Semangat!"
Nisa kembali menoleh kearah Riza yang terlihat tersenyum super lebar kepadanya, raut wajah Riza terlihat optimis membuat Nisa pun semakin tertular optimis. Nisa menganggukkan kepalanya sambil mengepalkan satu tangannya dengan senyum tak kalah lebar, "Semangat! Makasih ya, Riz".
"Gimana mata kamu, Nisa? Apa masih sakit? Apa sudah bisa melihat dengan jelas lagi? Jalanan lumayan macet, sebaiknya kamu tidur saja, Nisa, sekalian mengistirahatkan mata kamu," lanjut Riza lembut dengan nada khawatir yang belum hilang.
Nisa tersenyum lebih lebar kepada Riza, seolah ingin menghilangkan khawatir yang dirasakan Riza tentangnya. "Aku baik-baik saja, Riza. Aku sudah bisa melihat wajah kamu yang tampan itu dengan cukup jelas, Riz," sambung Nisa sambil tertawa dan menjulurkan lidahnya seolah menggoda Riza, membuat Riza pun ikut tertawa dengan setengah manyun.
"Emang kamu gapapa kalau aku tidur, Riz? Entar kamu malah bete sendirian menikmati kemacetan," ujar Nisa lagi dengan nada menggoda Riza.
Riza tertawa mendengarnya kemudian mengangguk pelan. "Gapapa, Nis, kan ada pak sopir yang menemani dalam kemacetan dan tidak mungkin tidur juga, he he". Nisa pun balas tertawa kecil kemudian mengangguk, "Ya sudah, aku tidur kalo begitu. Kalau pak sopirnya capek, ga ada salahnya tuh Riz kalau kamu menggantikan pak sopir buat mengemudikan taksi ini he he".
Riza pun pecah dalam tawa, mendengar kalimat penghujung Nisa yang masih mencandai dan menggodanya.

Tak berapa lama kemudian, Nisa sudah terlelap dengan tetap memegang erat gulungan sketsanya, sementara Riza yang sebelumnya asyik melihati pemandangan di luar kemudian menoleh kearah Nisa lalu memerhatikan raut wajah perempuan itu yang terlihat damai dalam tidurnya. Riza kemudian mengeluarkan jaket yang dibawanya dari ranselnya kemudian menyelimuti Nisa dengan jaketnya. Sejenak dia menyentuh gulungan sketsa mimpi Nisa itu.
"Aku janji, Nis, aku akan membantu kamu mewujudkan mimpi kamu itu, as soon as possible (ind: secepatnya). Itu bukan hanya mimpi kamu, tapi juga mimpi aku... mimpi kita, Nisa. Aku ingin melihat kamu tersenyum saat kamu bisa mewujudkan mimpi itu. Senyuman kamu itu..., senyuman yang istimewa buat aku," ujar Riza dalam hatinya sambil memandangi wajah teduh Nisa. Bahkan dalam tidurnya pun, senyuman Nisa itu terlihat istimewa dan tulus. Tiba-tiba ada air mata menetes di pipi Riza dan Riza pun buru-buru menghapusnya. Riza kembali melihat keluar, gerimis terlihat menyapa jalanan saat itu.

Tiga puluh menit kemudian, Nisa terbangun dari tidurnya dan menyadari Riza menyelimutinya dengan jaketnya. Nisa tersenyum bahagia, "Aku tahu kamu laki-laki baik, Riza. Aku ingin sekali membahagiakanmu sampai ujung usia aku, Riz. Andai saja...," batin Nisa.
"Kamu sudah bangun, Nis?"
Pertanyaan Riza itu membuat Nisa refleks menarik bibirnya membentuk senyuman yang lebih lebar lagi sambil menganggukkan kepalanya.
“Sedikit lagi kita sampai," ujar Riza tersenyum lembut ke Nisa dibalas Nisa dengan tersenyum dan mengangguk pelan.
"Nisa...," panggilan Riza itu pun membuat Riza dan Nisa berpandangan.
"Maukah kamu menikah denganku?" tanya Riza. Lagi-lagi pertanyaan Riza itu pun sukses membuat Nisa tertegun dan terdiam. Dan agaknya akan selalu seperti itu reaksi Nisa tiap kali Riza melontarkan pertanyaan luar biasa itu. "Andai aku bisa menjawab iya, Riz...," batin Nisa. Nisa kemudian tersenyum dan menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf Riza, kamu sudah tahu jawabannya...".
Riza pun balas tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Aku mengerti, aku akan tetap meminta kamu dan akan menunggu sampai kamu menjawab 'iya', Nisa".
Sejenak mereka pun larut dalam diam ketika taksi yang mereka naiki sudah sampai di depan tempat kos Nisa. Nisa bergegas melipat jaket Riza yang tadi menyelimutinya saat tidur.
"Jaket kamu ini biar aku cuci dulu, ya Riz. Nanti aku kembalikan ke kamu kalau kita bertemu lagi atau kalau nggak aku titipin Ana, teman sekelas kamu," ujar Nisa sambil tersenyum lebar dan riang ke Riza dibalas dengan senyuman dan anggukan kepala Riza.
"Terima kasih banyak untuk semuanya ya, Riz," lanjut Nisa sambil menyerahkan sejumlah uang seperti yang tertera di argometer taksi. Riza hanya tersenyum menerimanya, ia tahu Nisa bukan perempuan yang suka ditraktir oleh laki-laki, bahkan meski laki-laki itu adalah Riza.
"Ya udah kamu segera masuk, biar bisa lanjut istirahat, Nis," jawab Riza dengan riang. Keduanya tertawa sejenak, setelah bertukar salam, Nisa berjalan masuk kedalam tempat kosnya. Sementara itu, Riza terlihat mengamati Nisa dari dalam taksi, sengaja menunggu sampai Nisa benar-benar masuk ke dalam tempat kosnya. Sejenak Riza mengetikkan beberapa kalimat di handphone-nya.

Nisa sudah masuk ke dalam kamarnya, begitu pun Riza sudah melanjutkan perjalanannya ketika Nisa melihat ada pesan masuk di whatsapp-nya, pesan dari Riza.
"Semoga dengan berobat rutin, kamu tidak mengalami serangan sakit seperti sore tadi lagi ya, Nis :)".
Nisa pun tersenyum dan segera mengetik balasannya. "Aamiin, makasih banyak ya, Riz. You're really my best friend (ind: Kamu benar-benar sahabat terbaik aku), Riza :D".
Terlihat di layar whatsapp Nisa, Riza is typing...
"Would you be my best friend forever and ever (ind: Maukah kamu menjadi sahabat terbaikku selamanya), Nis? Maukah Kamu Menikah Denganku?”
Nisa tersenyum haru membacanya. Kalimat Riza itu benar-benar membuat hatinya tersentuh. Hati Nisa begitu berbunga-bunga seketika hingga membuat Nisa menangis bahagia dalam sendirinya untuk sesaat. Namun di lain sisi, Nisa juga merasakan sedih karena di ia tahu benar harus menjawab apa ke Riza hingga tangis bahagia itu pun bercampur dengan tangis sedihnya.
"Maaf Riza, kamu sudah tahu jawabannya. Dan keputusan aku tetap tidak berubah. Aku yakin kamu akan mendapatkan seorang perempuan yang bisa lebih membuatmu bahagia selamanya, kamu layak mendapatkannya," ketik Nisa kemudian.
"Aku ingin sekali melihat dan menemani kamu sepanjang usiaku, Riz...," ucap Nisa lirih dan berusaha tersenyum tegar sambil melihati layar whatsapp-nya ketika beberapa saat kemudian terlihat Riza is typing... .
"Aku akan tetap meminta dan menunggu sampai kamu menjawab ‘iya', Nis".
Kalimat Riza itu pun mengakhiri percakapan diantara Nisa dan Riza saat itu. Di hari itu, tak ada lagi percakapan diantara keduanya kecuali satu pesan whatsapp dari Riza menjelang jam Nisa tidur, pesan yang sama dengan sebelumnya dan sekaligus merupakan tekad Riza, "Maukah Kamu Menikah Denganku, Nisa?"
Lagi-lagi Nisa hanya bisa tersenyum haru membacanya, meski ia kemudian memutuskan untuk tidak membalasnya, "Maaf, Riz... . Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kamu".


-Bersambung-


 Selanjutnya : BERUBAH?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar