Rabu, 30 September 2015

Melukis Kita Dalam Cerita Aku dan Kamu - Part 3: Pagi yang Tertunda, Kenangan Senja dan Petang, Serta Kita

Sebelumnya : Part 2, Kita dan Bintang - You Can Count On Me, Rho 

Part 3: Pagi yang Tertunda, Kenangan Senja dan Petang, Serta Kita

Jam dinding kamar Alfa menunjukkan pukul 03.30 pagi saat Alfa terbangun dari tidurnya. Setengah mengantuk Alfa pun bergegas ke kamar mandi, mengambil wudlu kemudian melakukan sholat malam dan mengaji. Waktu menunjukkan pukul 04.15, Alfa sedang memandangi sekeliling kamarnya dan matanya berhenti di kalender meja yang ada di dekatnya. Kini tersisa hari Kamis dan Jumat buat Alfa mungkin mewujudkan pagi, senja, dan malamnya sejenak bersama Varrho sebelum dia berangkat ke Bandung. Alfa seolah sadar posisinya, dia tidak ingin mengganggu hari Sabtu Varrho yang mungkin akan digunakan Varrho untuk beristirahat atau menghabiskan waktu liburnya bersama Gina. Alfa melempar pandangannya ke sudut kamar dimana kopernya berada. Apa dia akan membawa kenangan Varrho bersama baju-baju di koper itu nantinya. "Alfa, kamu tidak boleh pesimis. Kamu pasti bisa mewujudkan kebersamaan kamu bersama Varrho sebelum berangkat".
Adzan Shubuh berkumandang tak lama setelahnya. Alfa pun bergegas menunaikan sholat Shubuhnya kemudian bergegas membuat sebotol coklat panas. Tidak ada pesan atau notifikasi dari Varhho di HP Alfa padahal jam sudah menunjukkan pukul 05.00. "Apa mungkin Varrho kecapekan karena pulang terlalu larut ya?" Alfa pun tidak mau membiarkan prasangkanya berkembang lebih jauh. Dengan mengambil kamera sakunya, Alfa bergegas menuju halaman depan rumahnya. "Bunda, Alfa duduk-duduk di depan ya. Soalnya Alfa punya janji dengan Varrho mau berbincang sambil melihat matahari terbit," ujar Alfa memberitahu bundanya yang sedang asyik di dapur. "Wah yang mau pindahan ke Bandung padat banget agendanya dengan teman-temannya. Baju yang mau dibawa sudah mulai dimasukkan koper belum Fa?" Alfa tersenyum manis ke bundanya sambil menggelengkan kepala pelan. "Alfa mulai packingnya besok Sabtu saja, Bun he he. Alfa keluar dulu ya. Nanti biar Alfa saja yang membereskan dan mencuci piring kotor dan teman-temannya ya, Bun".
Alfa bergegas duduk di bangku taman yang ada di halaman rumahnya menunggu Varrho. Sambil menunggu Varrho, Alfa kembali teringat bagaimana dirinya dan Varrho bertemu dan kemudian perlahan menjadi dekat. Waktu itu, Alfa sedang menemani Beta datang ke pesta ulang tahun temannya ketika kemudian Alfa terpisah dengan Beta karena Beta bertemu dengan sahabat lamanya dan Alfa pun memutuskan memberikan waktu Beta untuk bernostalgia tanpa ingin mengganggunya. Alfa menunggu Beta dan berdiri sendirian di dekat tempat makanan dan minuman disediakan ketika ada seseorang laki-laki seusianya menghampirinya, mengajak kenalan, dan menggodanya. Alfa berusaha dengan halus menghindari laki-laki itu, tapi laki-laki itu terlihat semakin gigih mendekatinya ketika tiba-tiba ada seseorang yang berteriak. "Jangan macam-macam sama cewek aku". Seorang laki-laki yang kini dikenalnya dengan nama Varrho itu menghampiri Alfa, "Kita keluar dan ngobrol di teras kafe ini saja yuk, Say". Sejenak Alfa menatap laki-laki asing itu sejenak dan entah kenapa, Alfa menurut begitu saja saat itu, ia memutuskan mengikuti laki-laki asing itu keluar.
"Daripada kamu bengong seperti orang hilang didalam pesta, lebih baik menikmati udara segar di teras kafe ini". Alfa menatap laki-laki aneh di hadapannya itu. "Memang kamu siapa, tiba-tiba muncul menjadi sok pahlawan? Bagaimana aku bisa tahu, kamu lebih baik dari cowok tadi atau sama saja?" tanya Alfa datar. Laki-laki itu balas menantap Alfa dengan datar. Kemudian dia melihat ke arah matahari. "Matahari, tolong beritahu cewek aneh di sebelah aku ini, sudah ditolongin dari jeratan playboy, bukannya berterima kasih eh malah balik curiga dan bicara sinis ke aku". Alfa melirik ke laki-laki disampingnya sejenak kemudian ikut memandang ke arah matahari. "Wajar kan matahari kalau aku curiga ke dia. Aku tidak kenal dia, tiba-tiba dia datang menjadi pahlawan kesiangan. Siapa tahu dia juga sebelas duabelas playboy-nya sama cowok yang tadi. Ya nggak, matahari?"
"Memangnya kamu tidak bisa membedakan mana laki-laki baik dan playboy? Jangan-jangan kamu tidak pernah pacaran ya, hmmm kasihan sekali," ujar laki-laki itu lagi ke arah Alfa. Alfa memasang muka cemberut mendengarnya. Kemudian dia memandang ke arah matahari lagi. "Matahari, memang mudah ya membedakan mana laki-laki baik dan playboy? Sekarang kan banyak serigala berbulu domba. Hati manusia siapa yang tahu, ya kan matahari? Lagipula pacaran atau nggak itu kan soal pilihan". Alfa kemudian memandang ke laki-laki itu. "Lagi pula, setahu aku, laki-laki yang baik tidak akan mengaku dia baik dan pastinya akan berusaha menjaga perasaan perempuan, tidak asal bicara seperti yang kamu lakukan barusan".
Laki-laki itu terlihat tertegun sejenak mendengar ucapan Alfa meski ekspresinya berusaha tetap datar dan cool. "Maaf kalau omonganku keterlaluan, tapi kamu juga keterlaluan berprasangka buruk ke aku. Maaf kalau aku melukai perasaan kamu," ujar laki-laki itu dengan suara lebih pelan dan lembut. Pandangan Alfa pun melunak, ia sadar sudah keterlaluan juga mencurigai laki-laki aneh itu, meski itu ia lakukan dalam rangka waspada terhadap jebakan laki-laki hidung belang. "Aku... aku juga minta maaf karena mungkin sudah keterlaluan juga ke kamu. Itu semua aku lakukan karena aku berusaha waspada saja, aku kan tidak kenal siapa kamu, dan aku tidak bisa memastikan apakah kamu baik atau tidak. By the way, terima kasih atas bantuannya tadi. Lebih baik aku masuk lagi saja ke tempat tadi". Mereka saling berpandangan sejenak ketika laki-laki itu kembali berucap, "Aku mohon jangan ke tempat tadi lagi. Cowok playboy itu ada disana dan dia tidak sendirian. Dia tidak akan berhenti begitu saja menggoda kamu yang terlihat sendirian dan canggung disana. Demi kebaikan kamu, mending kamu menunggu teman kamu disini, sambil minum secangkir kopi atau makan kue". Alfa memandang dengan penuh selidik ke laki-laki di depannya itu. "Bagaimana kamu yakin kalau cowok tadi playboy dan bakal menggoda aku lagi? Memang kamu kenal dia? Dan bagaimana kamu tahu kalau aku menunggu teman aku? Sorry bukannya maksud ke-GeEr-an, jangan bilang kamu memata-matai aku".
Laki-laki itu menggelengkan kepalanya pelan sambil tertawa kecil, "Aku tidak kenal dia, tapi aku tahu kalau dia brengsek. Teman aku yang mengenalnya. Dan aku tahu kamu sedang menunggu teman kamu karena aku juga salah satu yang diundang di pesta itu dan karena aku ngerasa canggung sendirian di pesta tadi, jadinya aku mengalihkan perhatian ke hal-hal yang nggak penting sebenarnya, termasuk mengamati kamu sejak datang kemudian ditinggal teman kamu dan berdiri sendirian dengan canggung di dekat makanan dan minuman". Alfa memandang lagi laki-laki itu, kali ini dengan pandangan lebih lunak. "Aku tahu kamu ragu ke aku, apakah aku baik atau sama saja, tapi aku saranin kamu lebih baik menunggu teman kamu disini saja. Toh teman kamu pasti keluarnya lewat sini juga. Aku nggak akan mengganggu kamu dengan perdebatan atau obrolan lebih panjang lagi, aku akan cari tempat duduk yang berbeda dan menjaga kamu kalau-kalau cowok playboy itu datang lagi setidaknya sampai teman kamu datang". Alfa masih memikirkan kata-kata laki-laki aneh itu sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain ketika ia tiba-tiba melihat seorang nenek sedang terduduk karena terkilir kakinya. Nenek itu juga terlihat berusaha menyelematkan dagangannya agar tidak jatuh karena dirinya yang kehilangan keseimbangan itu.
"Lihat deh, sepertinya nenek yang disana itu perlu bantuan. Ayo kita bantu," ujar Alfa sembari menunjuk tempat nenek yang sedang terduduk itu, memberitahu sekaligus mengajak laki-laki didekatnya.
"Oh iya, ayo kita kesana...," jawab laki-laki itu singkat. Tanpa banyak pertimbangan mereka berdua pun menghampiri nenek itu. "Nek, kaki Nenek terkilir ya?" tanya Alfa. Nenek itu menatap Alfa dan laki-laki disebelahnya itu bergantian kemudian mengangguk pelan. "Iya, Nak.. tiba-tiba saja kaki Nenek terkilir, makanya jadi hilang keseimbangan buat berdiri. Alhamdulillah dagangan Nenek selamat dan tidak terjatuh ke tanah," jawab nenek itu dengan senyum ramahnya.
"Rumah Nenek masih jauh? Biar kami bantu antar Nenek sampai ke rumah," ujar Varrho menimpali yang disertai anggukan kepala Alfa. "Dekat kok, Nak ... Ini makanya Nenek mau pulang saja," jawab nenek itu lagi masih tetap tersenyum. "Ya sudah, biar aku bantu Nenek jalan ya sampai ke rumah dan biar teman aku yang membantu membawa dagangan Nenek ya," sambung Alfa disertai anggukan kepala Varrho. Akhirnya mereka pun membantu nenek itu pulang ke rumahnya. Sekitar 20 menit kemudian, akhirnya mereka sampai di rumah nenek tersebut, sebuah rumah petak yang sangat sederhana. "Nenek tinggal sendiri disini sampai Nenek masih berjualan keliling begini?" tanya Varrho. "Nggak Nak, Nenek tinggal dengan cucu Nenek. Kebetulan dia sedang bekerja dan belum pulang. Nenek jualan kue keliling biar ada kegiatan dan membantu menambah penghasilan saja. Oh iya, anak berdua, apa mau minum? Biar Nenek ambilkan," ujar nenek tersebut ke Alfa dan Varrho.
"Tidak usah repot-repot Nek, terima kasih. Kebetulan kami sudah minum juga tadi," jawab Varrho diikuti dengan anggukan Alfa yang tersenyum bergantian ke nenek itu dan Varrho.
"Terima kasih banyak sekali lagi karena sudah bersedia membantu Nenek pulang ke rumah ya, Nak. Kalian orang baik. Nenek doakan semoga hubungan kalian awet ya, Nak," sambung nenek itu lagi. Varrho dan Alfa saling berpandangan satu sama lain dengan ekspresi bengong dan sedikit kaget ketika kemudian Alfa menjelaskan kepada nenek tersebut. "Kami bukan pasangan kok, Nek. Kami cuma berteman, bahkan baru kenal," jelas Alfa sambil tersenyum dan tertawa kecil yang diikuti dengan anggukan kepala dari Varrho yang ikutan tertawa geli juga. Kini ganti nenek itu yang sedikit bengong dan tersipu malu. "Maaf, Nenek kira kalian itu pacaran. Maaf ya Nak kalau Nenek sok tahu". Alfa dan Varrho pun menggelengkan kepala sambil tertawa kecil mengisyaratkan bahwa mereka tidak mempermasalahkan ketidaktahuan nenek tersebut.
Varrho memberi isyarat ke Alfa untuk berpamitan ke nenek tersebut ketika pandangan Alfa kemudian tertuju pada kue jualan nenek tersebut yang masih banyak tersisa. "Wah kuenya masih banyak yang tersisa ya, Nek padahal kaki Nenek terkilir dan tidak bisa lanjut keliling buat jualan," ujar Alfa menunjukkan raut bersimpati.
"Tidak apa-apa, Nak. Namanya juga jualan Nak, kadang terjual habis kadang tersisa banyak. Itu wajar kok, Nak. Oh iya kalau kalian berdua mau, ayo silahkan dibawa kuenya. Insyaa Allah bersih kok Nak, tidak ada yang terjatuh ke tanah tadi".
"Makasih banyak sebelumnya, Nek. Maksud aku, kalau Nenek mengizinkan, aku sama teman aku mau bantu Nenek buat menjualkan kue ini keliling di dekat taman situ. Itu juga kalau Nenek percaya sama kami," tawar Alfa sambil tersenyum lebar. Alfa memandang sejenak ke laki-laki di sebelahnya itu yang juga sedang memandangnya sambil mengangguk setuju.
"Oh tidak usah repot-repot, Nak. Nenek sudah berterima kasih sekali karena dibantu pulang ke rumah. Kalau soal sisa kue ini, bisa dimakan sendiri atau dibawa anak berdua kalau memang mau".
"Tidak apa-apa, kok Nek. Kebetulan kita sedang tidak ada kerjaan juga. Daripada kita melakukan sesuatu yang tidak jelas manfaatnya, lebih baik kita membantu menjualkan kue Nenek di taman dekat sini," sambung Alfa tersenyum lebar. Nenek itu kembali tersenyum melihat Alfa dan Varrho yang bersemangat membantunya.
"Memangnya kalian tidak malu berjualan keliling soalnya kalau Nenek lihat dari pakaian dan muka kalian, kalian itu berpenampilan rapi dan sepertinya tidak pernah berjualan apalagi jualan keliling seperti Nenek. Iya kan?" tanya nenek itu lagi.
"Nenek tenang saja, kami akan berusaha sebisa kami menjualkan kue-kue milik Nenek. Iya sih, jujur ini memang pengalaman aku berjualan keliling Nek dan tidak terbayang sebelumnya. Tapi kan aku berjualannya berdua, jadi kalaupun malu, malunya dibagi dua sama dia," timpal Varrho sambil nyengir dan menunjukkan jarinya ke Alfa yang ikut nyengir juga. "Lagipula sebenarnya tidak seharusnya kami malu, Nek. Ini cuma masalah keberanian saja, kami mungkin kurang berani saja," ujar Varrho lagi sambil tertawa kecil menertawakan dirinya sendiri.
Melihat niat tulus keduanya pun, membuat Nenek itu akhirnya mengizinkan mereka untuk membantunya berjualan. "Berjualannya di taman di dekat sini saja, Nak. Kalau pun tidak habis, tidak usah dipaksa ditunggu sampai habis. Nenek sudah sangat berterima kasih untuk kebaikan hati kalian. Nenek senang melihat kalian berdua, Nenek doakan kalian berjodoh ya soalnya kalian sepertinya saling melengkapi satu sama lain dalam kebaikan, Nak," ujar Nenek itu dengan tulus.
"Berjodoh?" Varrho dan Alfa kembali saling memandangi satu sama lain dengan aneh. Nenek tersebut yang melihat keduanya bengong satu sama lain pun tidak bisa menahan tertawanya. "Berjodoh itu tidak selalu berjodoh menjadi pasangan, Nak. Menjadi sahabat atau teman dekat pun namanya berjodoh. Maksud Nenek barusan berjodoh agar bisa saling melengkapi untuk melakukan hal-hal baik". Kini giliran Alfa dan Varrho yang tertawa kecil memandang ke nenek tersebut. Mereka berdua malu karena sudah berpikiran aneh-aneh sebelumnya.
Akhirnya Varrho dan Alfa pun memulai pengalaman pertama mereka berjualan kue keliling demi sebuah misi yang mereka sepakati sebagai misi kemanusiaan membantu Nenek yang terkilir. Alfa pun mengirim pesan ke Beta bahwa dia izin tidak bisa pulang bersama Beta karena ada keperluan mendadak. Secara singkat ia ceritakan misi itu ke Beta. Meski dengan hati yang kadang masih dihinggapi malu dan takut, Alfa dan Varrho saling menopang satu sama lain untuk berani menawarkan kue itu ke pengunjung dan orang yang ada di sekitar taman sore itu. Mereka berusaha menyemangati satu sama lain dengan canda tawa dan saling mengingatkan niat mereka melakukan misi sederhana itu.
Waktu sudah berjalan 1 jam sejak mereka berjualan keliling taman, ketika hari makin senja. "Waaah, langit menjelang senjanya terlihat indah sekali," ujar Alfa memandang ke arah langit yang memerah saat itu. "Btw, kue Nenek tinggal berapa? Syukurlah semesta mendukung niat kita, pengunjung taman sore ini rame dan baik baaa". "Ssssst, jangan bicara dulu sejenak, ayo kita nikmati keindahan menjelang senja sore ini," Alfa memotong pertanyaan laki-laki yang berdiri disebelahnya itu. Varrho pun memandang ke perempuan aneh itu yang matanya masih tidak lepas memandang ke arah matahari yang perlahan terbenam kemudian Varrho pun ikut memandang ke arah yang sama. "Kamu sangat suka senja ya?" tanya Varrho ke Alfa. "Sukaaaa sekali, saat-saat matahari terbenam dan hari mulai senja itu sangat indah, sangat menenangkan. Memang kamu tidak suka senja?" tanya Alfa sambil memandang ke arah laki-laki di sebelahnya itu. Varrho tersenyum sejenak ke perempuan yang ada disebelahnya itu kemudian mereka balik memandang ke arah matahari yang mulai terbenam. "Aku suka matahari dan aku juga suka hari yang mulai senja seperti sore ini. Alam seperti sedang tersenyum kepada kita dengan teduhnya, sejenak membuat kita melupakan bahwa hidup itu tidak selalu teduh melainkan seperti gado-gado. Akan tetapi, menikmati hari yang mulai senja ini juga membuat aku sedih karena harus melihat matahari yang perlahan menghilang. Selamat tinggal matahari, " urai Varrho. Mata mereka tetap fokus memandangi matahari yang nyaris menghilang itu. "Mungkin lebih tepatnya, sampai berjumpa lagi esok pagi, matahari. Kalau kita renungi lagi, matahari terbenam setiap sore hari untuk memberikan kesempatan buat bintang malam berbagi sinar ke kita. Alam memberikan banyak sekali hikmah yang bisa dipelajari, salah satunya tentang berbagi," sambung Alfa sambil tertawa ceria. Varrho memandangi perempuan disebelahnya itu lagi, ikut larut dalam tawa sambil mengangguk-angguk setuju.
"Btw, kembali ke misi kemanusiaan kita hari ini, kue yang tersisa enam biji lagi," ujar Alfa sambil menghitung sisa kue di tempatnya.
"Sebentar lagi adzan maghrib tiba, lebih baik kita sholat maghrib dulu yuk. Terserah kalau memang mau lanjut jualan lagi setelahnya. Tapi kalau ide aku sih, sisa kue tadi mending aku beli saja semuanya, lagipula berjualan kue malam-malam juga kurang efektif sepertinya. Nanti 3 bijinya aku ambil, 3 lainnya kamu yang bawa ya. Soalnya kalau kebanyakan, takut tidak ada yang makan di rumahku," ujar Varrho ke arah Alfa.
"Oke, aku sepakat dengan ide kamu, tapi 3 kue yang jatah aku tadi biar aku sendiri yang bayar. Memang kamu pikir aku tidak punya uang buat beli kue itu sampai harus kamu yang bayar?" goda Alfa dengan tersenyum sinis.
"Hmmm, mulai lagi deh berprasangka nggak baiknya...," jawab Varrho sambil sedikit manyun, "aku tidak ada niat sok-sokan kali...".
Alfa pun tertawa kecil sambil menatap laki-laki di hadapannya itu. "Aku cuma bercanda, tapi memang benar aku ingin bayar sendiri. Kan misi kemanusiaan kali ini misi kita berdua, jadi segala sesuatu ditanggung berdua termasuk sisa kue ini". Ucapan Alfa itu pun membuat Varrho ikut tertawa bersama Alfa.
Alfa dan Varrho pun bergegas menuju musolla yang ada di dekat taman. Secara terpisah mereka pun melakukan sholat Maghribnya. Alfa sudah selesai menjalankan sholat maghribnya ketika ia melihat Varrho masih sedang sholat berjamaah bersama beberapa laki-laki lainnya. Alfa pun menunggu Varrho di teras luar musolla sambil membungkuskan 3 kue jatah Varrho dan 3 kue sisanya buat dirinya sendiri. Beberapa saat kemudian, Varrho terlihat menghampiri Alfa dan Alfa pun menyerahkan plastik berisi kue jatah Varrho. "Tiga kali dua ribu per kue, jadinya total enam ribu," ujar Alfa ke laki-laki yang berdiri di hadapannya itu. Varrho tersenyum kemudian menyerahkan uang enam ribu kepada Alfa. "Alhamdulillah, akhirnya misi kemanusiaan membantu menjualkan kue ini pun selesai," ucap Alfa puas diikuti dengan raut puas di wajah Varrho, "total kue yang berhasil kita jual sebanyak 34 kue, jadi uang yang terkumpul Rp 68.000,-".
"Biar aku genapkan jadi Rp 100.000,- saja", ujar Varrho sambil bersiap mengeluarkan uang dari dompetnya ketika perempuan di hadapannya itu mencegahnya dan menggelengkan kepalanya pelan. "Nenek tadi bukan orang yang suka dikasihani sepertinya, jadi mungkin jauh lebih baik kalau kita biarkan saja uang itu sebagaimana total harga kue yang terjual," saran Alfa sambil memandang ke arah Varrho.
Varrho terdiam sejenak memikirkan ucapan perempuan yang sedang memandangnya itu lalu akhirnya mengangguk setuju.
"Kita doakan saja, rezeki halal ini meski mungkin jumlahnya tidak seberapa tapi bisa membawa berkah buat nenek tadi dan cucunya," sambung Alfa kali ini tersenyum lebih lebar membuat Varrho pun tertular untuk ikut tersenyum lebih lebar. Tanpa menunda lebih lama lagi, akhirnya mereka berdua pun menyerahkan uang hasil penjualan kue tersebut ke rumah nenek yang terkilir tadi sekaligus berpamitan pulang. Mereka pun pulang dengan ucapan terima kasih yang tulus dari nenek tersebut dan banyak doa baik dari nenek tersebut.
Varrho dan Alfa baru keluar beberapa meter dari rumah nenek tersebut, ketika Varrho menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Alfa. "Kita makan yuk, lapar banget setelah berkeliling tadi," ajak Varrho disambut dengan anggukan setuju dari Alfa yang juga merasakan hal yang sama. Entah kenapa, meski laki-laki disebelahnya itu baru dikenalnya dan belum sepenuhnya dipercayainya sebagai laki-laki baik, tapi Alfa merasa aman bersamanya, terutama setelah misi kemanusiaan yang mereka lakukan berdua.
"Bagaimana kalau kita makan di kafe yang tadi saja," ujar Varrho menawarkan pilihan.
"Kita makan lalapan di warung tenda di pinggiran jalan dekat taman situ saja, tadi aku sempat mengintip saat kita menjajakan kue, lumayan bersih kok," jawab Alfa menanggapi.
"Memang kamu tidak apa-apa makan di pinggir jalan?" tanya Varrho lagi
"Memang ada yang salah dan aneh ya kalau makan di pinggir jalan? Perasaan yang aneh itu kalau makannya di tengah jalan kali. Soalnya bakal mengganggu pengguna jalan dan diteriakin orang banyak," jawab Alfa lagi sambil tertawa kecil. Varrho pun tertawa lepas karena geli mendengar jawaban perempuan di hadapannya yang tidak pernah ia sangka bakal seaneh itu.
Akhirnya mereka pun makan lalapan di warung tenda di dekat taman itu. Mereka pun memilih duduk di lesehan beratap langit. "Langit malam ini penuh bintang-bintang, indah sekali," ucap Varrho sambil menatap langit dan bintang-bintang sambil tersenyum. Alfa memandangi laki-laki yang duduk di hadapannya itu kemudian ia pun ikut menatap ke arah bintang-bintang dan tersenyum. "Kamu suka bintang?" tanya Varrho kemudian ganti menoleh ke Alfa yang kemudian dijawab Alfa dengan menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar.
"Aku ingin menjadi seperti bintang. Bintang itu selalu bersinar apapun yang terjadi, aku ingin seperti itu. Aku ingin bersinar seperti bintang, menjadi orang sukses dalam kehidupan, berhasil mewujudkan mimpi-mimpi aku, dan bisa membahagiakan orang-orang yang aku sayangi," ujar Varrho lagi kembali menatap bintang-bintang. Alfa memandangi Varrho dengan tersenyum, "kamu benar-benar pecinta bintang ya. Kamu suka matahari alias si bintang di siang hari dan juga bintang-bintang malam". Varrho balas memandang dan tersenyum ke Alfa sambil mengangguk. Varrho kemudian kembali menatap bintang-bintang. "Kamu benar, aku suka sekali bintang dari kecil. Terlebih setelah meninggalnya papa aku beberapa tahun lalu, aku makin sering bercanda dengan bintang-bintang dan makin menyukainya. Dia seperti teman yang tersenyum dan memberi semangat terlebih saat aku teringat almarhum papa".
Alfa menatap laki-laki di hadapannya lama, ada simpati mendalam dalam ekspresinya kepada laki-laki itu, ketika tiba-tiba Varrho memandang kearahnya dan tertegun sejenak melihat Alfa yang sedang menatapnya dan mata mereka bertemu dalam diam sejenak. Varrho tersenyum lebar dan Alfa membalasnya dengan senyuman lebih lebar. "Selama kamu tetap mendoakan beliau, aku yakin papa kamu akan selalu hidup di hati kamu dan bintang-bintang akan selalu menemani kamu tersenyum bersama rasa rindu itu," ujar Alfa berusaha memberikan senyuman yang lebih manis untuk menyemangati laki-laki di hadapannya itu yang diikuti dengan anggukan penuh semangat dari Varrho.
"Kalau kamu sendiri kenapa suka bintang?" ujar Varrho balik bertanya sambil tersenyum ke perempuan yang ada di hadapannya itu. Alfa tersenyum kemudian kembali menatap ke arah bintang-bintang. "Seperti yang kamu bilang, bintang-bintang di langit itu meneduhkan mata dan menenangkan hati. Bintang-bintang dengan sinarnya itu seolah berbagi senyuman kepada kita yang melihatnya. Dan aku pun ingin seperti bintang yang bersinar, aku ingin menjadi seseorang yang baik dan bermanfaat dalam kehidupan aku, ... seperti bintang". Kini balik Varrho yang menatap agak lama perempuan di hadapannya yang sedang asyik tersenyum bersama bintang-bintang itu. Ada kagum yang tersirat dalam tatapan Varrho itu. Varrho merasa nyaman berada di dekat perempuan itu.
"Aku benar-benar tidak menyangka kita bakal akur, duduk bersama, dan berbagi cerita seperti sekarang setelah apa yang terjadi diantara kita tadi," sambung Varrho tersenyum ke arah Alfa. Alfa pun balas tertawa kecil sambil mengangguk, "Misi kemanusiaan tadi sepertinya menularkan hal-hal positif buat kita ya".
Keduanya pun tertawa lepas bersama mengingat semua yang terjadi hari ini sejak mereka mulai berinteraksi. "Oh ya baru ingat, perkenalkan nama aku Varrho," sambung Varrho baru teringat bahwa mereka belum saling tahu nama masing-masing. Varrho menjulurkan tangannya ke perempuan di hadapannya itu sambil tersenyum hangat. Alfa tersenyum sambil menjabat tangan Varrho, "Aku Alfa..., senang berkenalan dengan kamu...". "Semoga ini menjadi awal yang baik buat kita, seperti doa nenek tadi, semoga kita berjodoh untuk berbagi banyak kebaikan satu sama lain, Alfa...".

Alfa larut dalam senyumannya mengingat pertemuan awalnya dengan Varrho ketika terdengar sebuah panggilan masuk di handphonenya dari Varrho.
"Assalaamualaikum, pecinta bintang...pasti kesiangan bangun, ya," ucap Alfa memulai percakapan dengan semangat dan tersenyum.
"Waalaikumsalam wr wb, Fa. Pecinta bintang??? Hmmmm, maaaaaaaf banget, iya nih aku kesiangan. Lagi-lagi aku tidak menepati janji aku. Maaf ya, Fa".
"Aku sudah menduga kamu kesiangan, Rho soalnya kamu pulang larut banget pastinya".
Varrho terdiam sejenak.
"Ya sudah, Rho. Sekarang lebih baik kamu segera siap-siap, bukannya kamu bilang hari ini bakal lembur dari pagi sampai malam," sambung Alfa lagi dengan nada ceria.
"Aku benar-benar minta maaf, Fa. Aku sadar, aku benar-benar sahabat yang makin payah buat kamu akhir-akhir ini. Maafin aku ya, Fa. Insyaa Allah besok pagi aku akan berusaha menepati janji aku ke kamu, Fa," terdengar suara Varrho diliputi rasa bersalah ke Alfa.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan, Rho. Aku bisa mengerti kok. Aku memang ingin bisa menghabiskan pagi, senja, dan malam sejenak sebelum hari minggu ini bersama kamu, tapi bukan berarti harus dan memaksakan diri. Soal besok pagi, nanti malam kamu kabari aku lagi ya, Rho. Kalau kamu kecapekan hari ini karena habis lembur, kita bisa melakukannya lain kali insyaa Allah, Rho".
Lagi-lagi Varrho terdiam. "Aku tidak ingin mengecewakan kamu lagi, Fa," ujar Varrho dalam hati.
"Rho...Varrho... halo pecinta bintang?" panggil Alfa lagi. Entah kenapa Alfa seolah bisa merasakan rasa bersalah yang sedang dirasakan Varrho ke Alfa. Diam Varrho seolah mengatakan hal itu.
"Aku harap kamu tidak perlu merasa bersalah, Rho. Mungkin memang situasi dan kondisi diantara kita membuat kita tidak bisa sesering dulu menghabiskan waktu bersama".
Lagi-lagi terdengar desahan nafas Varrho, "sekali lagi aku minta maaf, Fa. Semoga besok aku bisa menunaikan janji aku ke kamu. Ya sudah, aku siap-siap kerja dulu, ya. Semoga hari kamu menyenangkan Alfa dan semoga kesalahan aku hari ini tidak mengurangi rasa bahagia di hati kamu ya," sambung Varrho.
"Tenang saja, Rho. Aku baik-baik saja kok. Makasih ya, Rho, have a great day for you too. Tetap jaga kesehatan dan jangan lupa makan ya sesibuk apapun kamu, pecinta bintang," lanjut Ara sambil tertawa kecil dan penuh semangat.
"Makasih banyak, sesama pecinta bintang. Jangan pernah lelah buat berbagi sinar dengan aku ya, Fa... ".
Telepon itu pun ditutup Alfa dan Varrho dengan berbagi gelak tawa.
Alfa memandangi matahari yang mulai menghiasi hari di ujung timur. Alfa tidak memungkiri terselip sedikit kecewa karena ia kembali gagal mewujudkan kebersamaannya bersama Varrho di pagi itu. Namun Alfa percaya Varrho tidak berniat mengecewakannya. Lagi pula kembali mengingat pertama kali mereka berdua berkenalan pagi itu, membuat Alfa kembali lebih yakin bahwa persahabatannya dengan Varrho begitu berharga. Dan Alfa semakin yakin untuk berusaha terus memperjuangkannya.

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar